/* Memiliki kolesterol yang tinggi, obesitas serta tekanan darah yang tinggi secara umum telah diketahui dan dinyatakan sebagai memiliki risiko tinggi untuk terkena serangan penyakit jantung.
Demikian juga dengan seseorang yang cenderung untuk bereaksi keras atau menilai keadaan yang dihadapinya secara berlebihan seperti halnya mudah terpicu untuk marah-marah, terlalu ngoyo dalam melakukan sesuatu atau pekerjaan,serta mudah untuk terjebak kedalam situasi stress.
Tapi baru kali ini ada tim peneliti yang tertarik untuk mengupasnya dari sudut yang lain, yaitu dari sudut resiko yang dapat ditimbulkan oleh keadaan lingkungan seperti halnya pengaruh kualitas udara yang kita hirup.
Untuk dapat mengetahui adanya pengaruh-pengaruh faktor keadaan lingkungan seperti halnya dengan faktor-faktor kepadatan penduduk terhadap kemungkinan terjadi risiko untuk terserang penyakit jantung, para peneliti Belgia dan Swiss secara bersama-sama telah mengkaji hasil penelitian dari 36 proyek penelitian yang secara khusus telah menganalisa berbagai faktor pemicu timbulnya serangan jantung seperti halnya dengan kebiasaan mengonsumsi kafein, beraktivitas fisik berlebihan, berpola makan berlebihan, mudah marah, kebiasaan menggunakan kokain dan lain-lain termasuk masalah polusi udara.
Ketika urutan peringkatnya dibuat, ternyata faktor polusi yang timbul akibat kepadatan lalu lintas yang meningkatkan tekanan darah akibat gas buang dari knalpot kendaraan yang mau tidak mau terhirup, telah merupakan penimbul risiko yang terbesar bagi seseorang untuk mendapat serangan jantung, dengan jumlah persentase kasusnya yang memiliki angka tertinggi, yaitu 7,4%.
Sedangkan yang menduduki peringkat selanjutnya, adalah beraktivitas fisik berlebihan serta polusi udara lain yang masing-masing mencapai 6%, peminum alkohol dan kopi masing-masing 5% serta sejumlah kebiasaan lainnya seperti halnya dengan kebiasaan mudah marah, terlalu mengumbar nafsu sex serta para pengguna mariyuana.
Keadaan polusi udara yang dijadikan acuan pada saat penelitian tersebut, adalah polusi yang berpartikel polutan mulai dari 30 mikrogram (mcg) per-meter kubik keatas. Padahal, standar polusi menurut WHO (World Health Organization) adalah 20 mcg partikel per-meter kubik yaitu setara dengan yang terjadi dibeberapa kota besar di negara Amerika Serikat.
Nyatanya, dari perbedaan yang 10 mcg / meter kubik lebih rendah saja, para peneliti tersebut telah menemukan kenyataan adanya perbedaan kasus terjadinya serangan penyakit jantung yang lebih rendah 2% yaitu hampir sama dengan hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang menemukan kenyataan bahwa tingkat kematian akibat serangan jantung akan naik sebesar 1,4% untuk setiap kenaikan partikel sebesar 10 mcg / meter kubik.
Seperti yang diungkapkan Andrea Baccarelli dan Emilia Benjamin dari Harvard School of Public Health dalam Lancet bahwa hasil penelitian ini merupakan peringatan agar tidak menganggap remeh faktor resiko yang walaupun tidak terlalu besar atau bahkan kecil sekali sekalipun, jika frekuensi kejadiannya ternyata jauh lebih sering.
Sebagai contoh, penggunaan kokain dinilai sebagai salah satu kontributor terkuat bagi setiap individu untuk memperoleh serangan jantung, dengan catatan bahwa resiko bagi penggunanya untuk memperoleh serangan penyakit jantung ternyata mencapai 24 kali lipat lebih besar bila dibandingkan dengan mereka yang tidak mempergunakannya.
Akan tetapi, karena proporsi pengguna kokaindalam masyarakat jumlahnya pada kenyataannya relatif jauh lebih kecil, maka dari keseluruhan masyarakat yang memperoleh serangan penyakit jantung akibat penggunaan kokain hanya mencapai jumlah yang relatip kecil juga, yaitu berada dibawah 1%.
Tim Nawrot dari The Center for Environmental Sciences pada Hasselt University mengatakan bahwa peran polusi udara sebagai faktor pemicu bagi terjadinya serangan jantung, ternyata memiliki resiko yang setara dengan penyebab-penyebab serangan jantung lainnya, yang telah lama secara klinis terbuktikan serta dinyatakan sebagai faktor-faktor penyebab bagi terjadinya serangan jantung.
Penelitian ini cukup memiliki daya tarik tersendiri, karena telah berhasil mengungkapkan adanya perluasan penyebaran serangan penyakit jantung yang memiliki daya jangkau terhadap kelompok masyarakat yang lebih luas lagi, yaitu melalui polusi udara serta polusi gas buang dari lalu lintas dikota-kota yang saat ini menjadi masalah mereka.
Disarikan dan dialihbahasakan dari tulisan Alice Park pada Healthland Time edisi 24 Februari 2011 oleh WS Djaka Panungkas
Blog ini dibuat dengan tujuan untuk dapat menambah wawasan kita bersama di bidang kesehatan, agar kelak kita tidak akan menjadi panik bila suatu saat kita terpaksa harus menghadapinya. Hingga pada "Posting Pertama" serta kelima video dengan judul "Sistim Pemulihan Alami"-nya secara khusus disajikan teori serta cara penerapannya, sedangkan posting-posting berikutnya merupakan paparan temuan-temuan medis yang ada kaitannys dengan teori-teori tersebut.
KOTAK PENCARIAN GOOGLE
Senin, 21 Maret 2011
Jumat, 18 Maret 2011
Kemasan Plastik Dan Permasalahannya
/*
Bahan pengemas plastik yang nampaknya aman dan seolah tidak mungkin menimbulkan masalah bagi kita, ternyata dapat memiliki kandungan senyawa kimia yang bernama bisphenol-A (BPA) dan phthalates yang apabila mengalami pemanasan dapat menyebabkannya terlepas dan mencemari makanan yang saat itu dikemasnya, hingga menimbulkan gangguan pada sistim hormonal ,yang secara khusus mekanisme kerjanya belum terpahami sepenuhnya.
Dalam hal ini,para peneliti telah menemukan hal-hal yang mengundang kekhawatiran, akibat dampak yang dapat ditimbulkannya terhadap para wanita hamil serta bayi dan anak-anak dari bahan-bahan kimia yang dapat mengganggu sistim endokrin tersebut yang ternyata dalam penelitian mereka terkandung dalam kemasan-kemasan pelastik yang mereka teliti, termasuk pada beberapa produk plastik yang dinyatakan oleh pembuatnya sebagai bebas BPA.
Para ilmuwan yang dipimpin oleh George Bittner seorang neurobiologis pada University of Texas tersebut, telah meneliti sejumlah 455 produk plastik yang terdapat dipasaran dan secara umum dipergunakan.
Hasilnya, ternyata cukup mengejutkan. Karena ternyata 70% dari sample yang diteliti tersebut mengandung senyawa kimia yang bersifat estrogenik. Dan ketika mengalami pemanasan baik saat dimasukan kedalam microwave maupunu alat pencuci , ternyata yang mengeluarkan senyawa kimia yang bersifat estrogenic tersebut telah meningkat menjadi 95% nya yaitu termasuk kemasan plastik yang dinyatakan oleh produsennya bebas BPA.
Pada saat penelitian tersebut, para peneliti tersebut telah mengambil sample berupa hampir semua produk plastik yang ada dipasaran tanpa memperhatikan jenis bahan baku, merek produk maupun penjualnya.
Ternyata, dari sample yang diteliti tersebut hampir seluruhnya melepaskan senyawa kimia yang memiliki EA (Endocrine Activitiy/Aktifitas Endokrin), termasuk produk yang dalam iklannya menyatakan diri sebagai produk plastik bebas BPA.
Bahkan didalam beberapa kasus, ternyata prosuk-produk yang menyatakan diri sebagai bebas dari BPA bahkan mengeluarkan lebih banyak lagi jenis lain senyawa kimia yang memiliki aktifitas endokrin yang lebih banyak, daripada produk-produk yang mengandung BPA.
BPA sendiri, secara umum merupakan sesuatu yang keberadaannya cukup dikhawatirkan di Amerika Serikat.
Lebih-lebih, ternyata hampir setiap warga Amerika didalam beberapa penelitianyang dilakukan hampir rata-rata pada tubuhnya terdapat sejumlah BPA.
Hal ini, merupakan sesuatu yang dapat dimengerti. Karena, di Amerika Serikat kemasan plastik umum digunakan dimana-mana.
Karena warga AS merupakan warga yang paling banyak mengalami kontaminasi BPA pada tubuh mereka hingga jumlah mencapai dua kali lebih banyak dari yang dialami oleh warga Kanada, maka pihak FDA menyatakan kekhawatiran mereka akan dampak buruknya terhadap otak janin, bayi-bayi serta anak-anak.
Walau demikian, tidak seorangpun dari pihak federal mereka yang menyatakan bahwa BPA atau senyawa kimia lainnya yang aktifitasnya mengganggu sistim endokrin sebagai sesuatu yang berbahaya
Nampaknya pihak Washington masih enggan untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam hal ini. Akan tetapi, kota dan negara bagian yang lainnya, seperti halnya dengan Connecticut dan Minnesota saat ini telah melarang penggunaan produk-produk yang mengandung BPA untuk bayi.
Diluar Amerika Serikat, Cina yang padahal sebenarnya bukan merupakan sebuah negara yang mengutamakan perlindungan terhadap lingkungannya justru telah merencanakan untuk melakukan pelarangan mempergunakan BPA pada produk-produk yang dibuat untuk anak-anak.
Dialihbahasakan dan disarikan dari Healthland Time edisi 8 Maret 2011 oleh WS Djaka Panungkas
Bahan pengemas plastik yang nampaknya aman dan seolah tidak mungkin menimbulkan masalah bagi kita, ternyata dapat memiliki kandungan senyawa kimia yang bernama bisphenol-A (BPA) dan phthalates yang apabila mengalami pemanasan dapat menyebabkannya terlepas dan mencemari makanan yang saat itu dikemasnya, hingga menimbulkan gangguan pada sistim hormonal ,yang secara khusus mekanisme kerjanya belum terpahami sepenuhnya.
Dalam hal ini,para peneliti telah menemukan hal-hal yang mengundang kekhawatiran, akibat dampak yang dapat ditimbulkannya terhadap para wanita hamil serta bayi dan anak-anak dari bahan-bahan kimia yang dapat mengganggu sistim endokrin tersebut yang ternyata dalam penelitian mereka terkandung dalam kemasan-kemasan pelastik yang mereka teliti, termasuk pada beberapa produk plastik yang dinyatakan oleh pembuatnya sebagai bebas BPA.
Para ilmuwan yang dipimpin oleh George Bittner seorang neurobiologis pada University of Texas tersebut, telah meneliti sejumlah 455 produk plastik yang terdapat dipasaran dan secara umum dipergunakan.
Hasilnya, ternyata cukup mengejutkan. Karena ternyata 70% dari sample yang diteliti tersebut mengandung senyawa kimia yang bersifat estrogenik. Dan ketika mengalami pemanasan baik saat dimasukan kedalam microwave maupunu alat pencuci , ternyata yang mengeluarkan senyawa kimia yang bersifat estrogenic tersebut telah meningkat menjadi 95% nya yaitu termasuk kemasan plastik yang dinyatakan oleh produsennya bebas BPA.
Pada saat penelitian tersebut, para peneliti tersebut telah mengambil sample berupa hampir semua produk plastik yang ada dipasaran tanpa memperhatikan jenis bahan baku, merek produk maupun penjualnya.
Ternyata, dari sample yang diteliti tersebut hampir seluruhnya melepaskan senyawa kimia yang memiliki EA (Endocrine Activitiy/Aktifitas Endokrin), termasuk produk yang dalam iklannya menyatakan diri sebagai produk plastik bebas BPA.
Bahkan didalam beberapa kasus, ternyata prosuk-produk yang menyatakan diri sebagai bebas dari BPA bahkan mengeluarkan lebih banyak lagi jenis lain senyawa kimia yang memiliki aktifitas endokrin yang lebih banyak, daripada produk-produk yang mengandung BPA.
BPA sendiri, secara umum merupakan sesuatu yang keberadaannya cukup dikhawatirkan di Amerika Serikat.
Lebih-lebih, ternyata hampir setiap warga Amerika didalam beberapa penelitianyang dilakukan hampir rata-rata pada tubuhnya terdapat sejumlah BPA.
Hal ini, merupakan sesuatu yang dapat dimengerti. Karena, di Amerika Serikat kemasan plastik umum digunakan dimana-mana.
Karena warga AS merupakan warga yang paling banyak mengalami kontaminasi BPA pada tubuh mereka hingga jumlah mencapai dua kali lebih banyak dari yang dialami oleh warga Kanada, maka pihak FDA menyatakan kekhawatiran mereka akan dampak buruknya terhadap otak janin, bayi-bayi serta anak-anak.
Walau demikian, tidak seorangpun dari pihak federal mereka yang menyatakan bahwa BPA atau senyawa kimia lainnya yang aktifitasnya mengganggu sistim endokrin sebagai sesuatu yang berbahaya
Nampaknya pihak Washington masih enggan untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam hal ini. Akan tetapi, kota dan negara bagian yang lainnya, seperti halnya dengan Connecticut dan Minnesota saat ini telah melarang penggunaan produk-produk yang mengandung BPA untuk bayi.
Diluar Amerika Serikat, Cina yang padahal sebenarnya bukan merupakan sebuah negara yang mengutamakan perlindungan terhadap lingkungannya justru telah merencanakan untuk melakukan pelarangan mempergunakan BPA pada produk-produk yang dibuat untuk anak-anak.
Dialihbahasakan dan disarikan dari Healthland Time edisi 8 Maret 2011 oleh WS Djaka Panungkas
Bahan pengemas plastik yang nampaknya aman dan seolah tidak mungkin menimbulkan masalah bagi kita, ternyata dapat memiliki kandungan senyawa kimia yang bernama bisphenol-A (BPA) dan phthalates yang apabila mengalami pemanasan dapat menyebabkannya terlepas dan mencemari makanan yang saat itu dikemasnya, hingga menimbulkan gangguan pada sistim hormonal ,yang secara khusus mekanisme kerjanya belum terpahami sepenuhnya.
Dalam hal ini,para peneliti telah menemukan hal-hal yang mengundang kekhawatiran, akibat dampak yang dapat ditimbulkannya terhadap para wanita hamil serta bayi dan anak-anak dari bahan-bahan kimia yang dapat mengganggu sistim endokrin tersebut yang ternyata dalam penelitian mereka terkandung dalam kemasan-kemasan pelastik yang mereka teliti, termasuk pada beberapa produk plastik yang dinyatakan oleh pembuatnya sebagai bebas BPA.
Para ilmuwan yang dipimpin oleh George Bittner seorang neurobiologis pada University of Texas tersebut, telah meneliti sejumlah 455 produk plastik yang terdapat dipasaran dan secara umum dipergunakan.
Hasilnya, ternyata cukup mengejutkan. Karena ternyata 70% dari sample yang diteliti tersebut mengandung senyawa kimia yang bersifat estrogenik. Dan ketika mengalami pemanasan baik saat dimasukan kedalam microwave maupunu alat pencuci , ternyata yang mengeluarkan senyawa kimia yang bersifat estrogenic tersebut telah meningkat menjadi 95% nya yaitu termasuk kemasan plastik yang dinyatakan oleh produsennya bebas BPA.
Pada saat penelitian tersebut, para peneliti tersebut telah mengambil sample berupa hampir semua produk plastik yang ada dipasaran tanpa memperhatikan jenis bahan baku, merek produk maupun penjualnya.
Ternyata, dari sample yang diteliti tersebut hampir seluruhnya melepaskan senyawa kimia yang memiliki EA (Endocrine Activitiy/Aktifitas Endokrin), termasuk produk yang dalam iklannya menyatakan diri sebagai produk plastik bebas BPA.
Bahkan didalam beberapa kasus, ternyata prosuk-produk yang menyatakan diri sebagai bebas dari BPA bahkan mengeluarkan lebih banyak lagi jenis lain senyawa kimia yang memiliki aktifitas endokrin yang lebih banyak, daripada produk-produk yang mengandung BPA.
BPA sendiri, secara umum merupakan sesuatu yang keberadaannya cukup dikhawatirkan di Amerika Serikat.
Lebih-lebih, ternyata hampir setiap warga Amerika didalam beberapa penelitianyang dilakukan hampir rata-rata pada tubuhnya terdapat sejumlah BPA.
Hal ini, merupakan sesuatu yang dapat dimengerti. Karena, di Amerika Serikat kemasan plastik umum digunakan dimana-mana.
Karena warga AS merupakan warga yang paling banyak mengalami kontaminasi BPA pada tubuh mereka hingga jumlah mencapai dua kali lebih banyak dari yang dialami oleh warga Kanada, maka pihak FDA menyatakan kekhawatiran mereka akan dampak buruknya terhadap otak janin, bayi-bayi serta anak-anak.
Walau demikian, tidak seorangpun dari pihak federal mereka yang menyatakan bahwa BPA atau senyawa kimia lainnya yang aktifitasnya mengganggu sistim endokrin sebagai sesuatu yang berbahaya
Nampaknya pihak Washington masih enggan untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam hal ini. Akan tetapi, kota dan negara bagian yang lainnya, seperti halnya dengan Connecticut dan Minnesota saat ini telah melarang penggunaan produk-produk yang mengandung BPA untuk bayi.
Diluar Amerika Serikat, Cina yang padahal sebenarnya bukan merupakan sebuah negara yang mengutamakan perlindungan terhadap lingkungannya justru telah merencanakan untuk melakukan pelarangan mempergunakan BPA pada produk-produk yang dibuat untuk anak-anak.
Dialihbahasakan dan disarikan dari Healthland Time edisi 8 Maret 2011 oleh WS Djaka Panungkas
Bahan pengemas plastik yang nampaknya aman dan seolah tidak mungkin menimbulkan masalah bagi kita, ternyata dapat memiliki kandungan senyawa kimia yang bernama bisphenol-A (BPA) dan phthalates yang apabila mengalami pemanasan dapat menyebabkannya terlepas dan mencemari makanan yang saat itu dikemasnya, hingga menimbulkan gangguan pada sistim hormonal ,yang secara khusus mekanisme kerjanya belum terpahami sepenuhnya.
Dalam hal ini,para peneliti telah menemukan hal-hal yang mengundang kekhawatiran, akibat dampak yang dapat ditimbulkannya terhadap para wanita hamil serta bayi dan anak-anak dari bahan-bahan kimia yang dapat mengganggu sistim endokrin tersebut yang ternyata dalam penelitian mereka terkandung dalam kemasan-kemasan pelastik yang mereka teliti, termasuk pada beberapa produk plastik yang dinyatakan oleh pembuatnya sebagai bebas BPA.
Para ilmuwan yang dipimpin oleh George Bittner seorang neurobiologis pada University of Texas tersebut, telah meneliti sejumlah 455 produk plastik yang terdapat dipasaran dan secara umum dipergunakan.
Hasilnya, ternyata cukup mengejutkan. Karena ternyata 70% dari sample yang diteliti tersebut mengandung senyawa kimia yang bersifat estrogenik. Dan ketika mengalami pemanasan baik saat dimasukan kedalam microwave maupunu alat pencuci , ternyata yang mengeluarkan senyawa kimia yang bersifat estrogenic tersebut telah meningkat menjadi 95% nya yaitu termasuk kemasan plastik yang dinyatakan oleh produsennya bebas BPA.
Pada saat penelitian tersebut, para peneliti tersebut telah mengambil sample berupa hampir semua produk plastik yang ada dipasaran tanpa memperhatikan jenis bahan baku, merek produk maupun penjualnya.
Ternyata, dari sample yang diteliti tersebut hampir seluruhnya melepaskan senyawa kimia yang memiliki EA (Endocrine Activitiy/Aktifitas Endokrin), termasuk produk yang dalam iklannya menyatakan diri sebagai produk plastik bebas BPA.
Bahkan didalam beberapa kasus, ternyata prosuk-produk yang menyatakan diri sebagai bebas dari BPA bahkan mengeluarkan lebih banyak lagi jenis lain senyawa kimia yang memiliki aktifitas endokrin yang lebih banyak, daripada produk-produk yang mengandung BPA.
BPA sendiri, secara umum merupakan sesuatu yang keberadaannya cukup dikhawatirkan di Amerika Serikat.
Lebih-lebih, ternyata hampir setiap warga Amerika didalam beberapa penelitianyang dilakukan hampir rata-rata pada tubuhnya terdapat sejumlah BPA.
Hal ini, merupakan sesuatu yang dapat dimengerti. Karena, di Amerika Serikat kemasan plastik umum digunakan dimana-mana.
Karena warga AS merupakan warga yang paling banyak mengalami kontaminasi BPA pada tubuh mereka hingga jumlah mencapai dua kali lebih banyak dari yang dialami oleh warga Kanada, maka pihak FDA menyatakan kekhawatiran mereka akan dampak buruknya terhadap otak janin, bayi-bayi serta anak-anak.
Walau demikian, tidak seorangpun dari pihak federal mereka yang menyatakan bahwa BPA atau senyawa kimia lainnya yang aktifitasnya mengganggu sistim endokrin sebagai sesuatu yang berbahaya
Nampaknya pihak Washington masih enggan untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam hal ini. Akan tetapi, kota dan negara bagian yang lainnya, seperti halnya dengan Connecticut dan Minnesota saat ini telah melarang penggunaan produk-produk yang mengandung BPA untuk bayi.
Diluar Amerika Serikat, Cina yang padahal sebenarnya bukan merupakan sebuah negara yang mengutamakan perlindungan terhadap lingkungannya justru telah merencanakan untuk melakukan pelarangan mempergunakan BPA pada produk-produk yang dibuat untuk anak-anak.
Dialihbahasakan dan disarikan dari Healthland Time edisi 8 Maret 2011 oleh WS Djaka Panungkas
Minggu, 13 Maret 2011
MungkinkahTerlalu Banyak Asupan Makanan Berbahan Dasar Kedelai Berdampak Buruk Bagi Kita ?
/* Beberapa hasil penelitian yang dilakukan pada akhir-akhir ini menunjukkan bahwa mengonsumsi terlalu banyak senyawa kimia yang mirip estrogen dan terkandung pada kedele ternyata selain mampu menurunkan kesuburan pada seorang wanita, ternyata juga dapat menyebabkan terjadinya pubertas dini, mengganggu perkembangan janin serta menghambat pertumbuhan anak-anak
Dalam mencari makanan sehat, pada saat ini banyak orang Amerika yang mengonsumsi bahan makanan yang berasal dari kedelai lebih dari yang sebelumnya. Padahal, beberapa penelitian pada hewan yang dilakukan akhir-akhir ini justru menunjukkan bahwa pada hewan yang mengonsumsinya dalam jumlah yang besar ternyata berdampak buruk pada kesuburan serta perkembangan alat reproduksi mereka.
Padahal, makanan yang berbahan dasar kedelai pada saat ini tersebar luas di seluruh Amerika Serikat. Bahkan lebih dari seperempat jumlah susu formula yang ada dipasaran mereka, terbuat dari bahan dasar tersebut.
Selain itu, pihak US Food and Drug Administration-pun telah mempromosikannya sebagai makanan yang mampu mengurangi risiko seseorang untuk terserang penyakit jantung, dan bahkan program makan siang disekolahpun yang dilakukan di seluruh negara tersebut telah menambahkan kedelai hamburger patties sebagai bagian dari menu didalamnya.
Memang banyak manfaat dari isoflavon yaitu senyawa mirip estrogen yang terkandung didalamnya tersebut bagi kesehatan. Namun masalahnya kini, adalah bahwa beberapa penelitian yang dilakukan terhadap hewan justru menunjukkan hal sebaliknya, karena hewan yang diberi sejumlah besar makanan yang mengandung isoflavon tersebut ternyata kesuburan dari hewan betinanya menjadi menurun dan menimbulkan dampak pubertas dini pada hewan-hewan tersebut. Selain itu, ternyata kandungan isoflavon yang terdapat didalamnya juga mampu mengganggu perkembangan janin serta perkembangan anak-anak mereka.
Meskipun hampir semua penelitian mengenai genistein yaitu salah satu bentuk isoflavone yang terdapat pada kedelai tersebut dilakukannya hanya terhadap mencit, akan tetapi telah cukup membuat banyak ilmuwan yakin bahwa mungkin juga dapat terjadi pada diri manusia.
Sejak awal 1990-an, konsumsi kedelai di Amerika Serikat sangat membumbung tinggi, hingga penjualan makanan yang terbuat dari kedelai yang pada tahun 1992 hanya mencapai nilai jual sebesar $ 300 juta pada tahun 2008 telah naik menjadi $ 4 miliar. Sebagai dampak dari beberapa studi klinis yang telah berhasil menunjukkan bahwa dengan mengonsumsi kedelai kita akan dapat menurunkan kadar kolesterol serta menurunkan resiko untuk terkena kanker payudara serta kanker prostat.
Tapi Newbold serta para peneliti lainnya tidak yakin bahwa makan yang mengandung kedelai akan dapat membuat semua orang menjadi lebih sehat. Karena bayi yang diberi susu formula yang terbuat dari kedelai, akan memperoleh asupan genistein sekitar enam sampai 11 kali lebih tinggi dari kadar yang dapat menimbulkan dampak buruk pada sistim hormonal seorang dewasa.
Karena menurut Newbold : "Memberikan hormon estrogen pada bayi atau anak bagaimanapun juga tidak akan pernah menjadikannya sesuatu hal yang baik,".
Walaupun studi tentang efek berbahaya dari isoflavon yang terdapat pada kedelai masih sangat terbatas dan belum layak untuk dapat disimpulkan, akan tetapi bukti yang diperoleh pada studi yang dilakukan pada hewan bahwa genistein mengganggu sistim reproduksi serta perkembangan embrio tidak dapat diabaikan begitu saja.
Didalam suatu penelitian, Wen-Hsiung Chan dari Chung Yuan Christian University- Taiwan dalam publikasinya pada The Journal Reproductive Toxicology edisi bulan Juli 2009, menyatakan bahwa temuan mereka menunjukan bahwa pemberian genistein menyebabkan menurunnya kesuburan dan terjadinya perkembangan embrio abnormal pada tikus betina
Dalam penelitian tersebut, tikus-tikus tersebut diberi asupan yang mengandung satu hingga sepuluh micromoles genistein melalui air minum yang diberikan pada mereka selama kurun waktu empat hari.
Ternyata, dengan dosis yang diberikan tersebut telur menjadi lebih sedikit yang berhasil dapat dibuahi dan terjadinya peningkatan kematian sel pada embrio-embrio yang tengah berkembang.
Pada tikus jantan, pemberian dosis tinggi ternyata telah menyebabkan adanya pertumbuhan sel-sel payudara yang abnormal, walaupun tidak sampai menyebabkan timbulnya kanker atau perubahan organ reproduksi.
Menurut Heather Patisaul, seorang ahli pengembangan biologis pada North Carolina State University, sistim reproduksi kita dengan sistem reproduksi tikus tidak berbeda. Demikian juga dengan hormon-hormon-nya.
Masalahnya adalah dampak yang ditimbulkannya. Jika dampak pada kesuburan tersebut menimpa orang dewasa, maka untuk dapat mengatasinya cukup dengan cara mengurangi pola mengonsumsi kedelainya. Tetapi, jika dampaknya tersebut menimpa sistim reproduksi bayi, maka dampak tersebut bisa merupakan dampak yang permanen.
Akan tetapi, sampai saat ini baru sebuah studi yang dilakukan untuk melihat efek jangka panjang dari susu formula yang berasal dari kedelai, yaitu mengenai dampaknya terhadap sistim reproduksi manusia.
Didalam hal ini, ternyata telah ditemukan fakta bahwa bahwa wanita yang mengonsumsi susu formula kedelai ternyata banyak yang mengalami gangguan menstruasi termasuk mengalami kram pada saat mentruasi.
Menurut Patisaul, perkembangan otak yang dimulai sejak bayi dalam kandungan dan berlanjut hingga masa pubertasnya, juga dapat menjadi berubah sebagai akibat dari adanya estrogen pada kedelai tersebut.
Masalahnya saat ini adalah kandungan isoflavone pada setiap susu formula ternyata berbeda satu sama lain, akibat dari jenis kedele yang dipergunakan serta berbagai kondisi lainnya, seperti halnya dengan masalah kesuburan tanah dimana kedele itu ditanam. Akibatnya, besar kandungan genisteinnya sulit untuk dikontrol.
Pada tahun 2008, American Association of Pediatricians telah mempelajari semua studi ilmiah mengenai hal ini, akan tetapi mereka menyatakan bahwa sampai saat itu belum ditemukan bukti yang cukup meyakinkan bahwa susu formula memiliki dampak buruk pada perkembangan bayi, sistim reproduksi maupun fungsi endokrin mereka.
Walau demikian, melakukan pembatasan dalam pemberiannya tidaklah akan sampai merugikan.
Hal ini mirip dengan masalah efek Bisphenol A atau BPA yang jugas merupakan senyawa estrogenik yang terdapat pada botol plastik yang menyebabkan banyak ilmuwan memperkirakan akan dapat membahayakan otak dan perkembangan alat reproduksi.
Disarikan dan dialih bahasakan dari tulisan Lindsey Konkel pada Environmental Health News edisi 3 November 2009 oleh WS Djaka Panungkas
Beberapa hasil penelitian yang dilakukan pada akhir-akhir ini menunjukkan bahwa mengonsumsi terlalu banyak senyawa kimia yang mirip estrogen dan terkandung pada kedele ternyata selain mampu menurunkan kesuburan pada seorang wanita, ternyata juga dapat menyebabkan terjadinya pubertas dini, mengganggu perkembangan janin serta menghambat pertumbuhan anak-anak
Dalam mencari makanan sehat, pada saat ini banyak orang Amerika yang mengonsumsi bahan makanan yang berasal dari kedelai lebih dari yang sebelumnya. Padahal, beberapa penelitian pada hewan yang dilakukan akhir-akhir ini justru menunjukkan bahwa pada hewan yang mengonsumsinya dalam jumlah yang besar ternyata berdampak buruk pada kesuburan serta perkembangan alat reproduksi mereka.
Padahal, makanan yang berbahan dasar kedelai pada saat ini tersebar luas di seluruh Amerika Serikat. Bahkan lebih dari seperempat jumlah susu formula yang ada dipasaran mereka, terbuat dari bahan dasar tersebut.
Selain itu, pihak US Food and Drug Administration-pun telah mempromosikannya sebagai makanan yang mampu mengurangi risiko seseorang untuk terserang penyakit jantung, dan bahkan program makan siang disekolahpun yang dilakukan di seluruh negara tersebut telah menambahkan kedelai hamburger patties sebagai bagian dari menu didalamnya.
Memang banyak manfaat dari isoflavon yaitu senyawa mirip estrogen yang terkandung didalamnya tersebut bagi kesehatan. Namun masalahnya kini, adalah bahwa beberapa penelitian yang dilakukan terhadap hewan justru menunjukkan hal sebaliknya, karena hewan yang diberi sejumlah besar makanan yang mengandung isoflavon tersebut ternyata kesuburan dari hewan betinanya menjadi menurun dan menimbulkan dampak pubertas dini pada hewan-hewan tersebut. Selain itu, ternyata kandungan isoflavon yang terdapat didalamnya juga mampu mengganggu perkembangan janin serta perkembangan anak-anak mereka.
Meskipun hampir semua penelitian mengenai genistein yaitu salah satu bentuk isoflavone yang terdapat pada kedelai tersebut dilakukannya hanya terhadap mencit, akan tetapi telah cukup membuat banyak ilmuwan yakin bahwa mungkin juga dapat terjadi pada diri manusia.
Sejak awal 1990-an, konsumsi kedelai di Amerika Serikat sangat membumbung tinggi, hingga penjualan makanan yang terbuat dari kedelai yang pada tahun 1992 hanya mencapai nilai jual sebesar $ 300 juta pada tahun 2008 telah naik menjadi $ 4 miliar. Sebagai dampak dari beberapa studi klinis yang telah berhasil menunjukkan bahwa dengan mengonsumsi kedelai kita akan dapat menurunkan kadar kolesterol serta menurunkan resiko untuk terkena kanker payudara serta kanker prostat.
Tapi Newbold serta para peneliti lainnya tidak yakin bahwa makan yang mengandung kedelai akan dapat membuat semua orang menjadi lebih sehat. Karena bayi yang diberi susu formula yang terbuat dari kedelai, akan memperoleh asupan genistein sekitar enam sampai 11 kali lebih tinggi dari kadar yang dapat menimbulkan dampak buruk pada sistim hormonal seorang dewasa.
Karena menurut Newbold : "Memberikan hormon estrogen pada bayi atau anak bagaimanapun juga tidak akan pernah menjadikannya sesuatu hal yang baik,".
Walaupun studi tentang efek berbahaya dari isoflavon yang terdapat pada kedelai masih sangat terbatas dan belum layak untuk dapat disimpulkan, akan tetapi bukti yang diperoleh pada studi yang dilakukan pada hewan bahwa genistein mengganggu sistim reproduksi serta perkembangan embrio tidak dapat diabaikan begitu saja.
Didalam suatu penelitian, Wen-Hsiung Chan dari Chung Yuan Christian University- Taiwan dalam publikasinya pada The Journal Reproductive Toxicology edisi bulan Juli 2009, menyatakan bahwa temuan mereka menunjukan bahwa pemberian genistein menyebabkan menurunnya kesuburan dan terjadinya perkembangan embrio abnormal pada tikus betina
Dalam penelitian tersebut, tikus-tikus tersebut diberi asupan yang mengandung satu hingga sepuluh micromoles genistein melalui air minum yang diberikan pada mereka selama kurun waktu empat hari.
Ternyata, dengan dosis yang diberikan tersebut telur menjadi lebih sedikit yang berhasil dapat dibuahi dan terjadinya peningkatan kematian sel pada embrio-embrio yang tengah berkembang.
Pada tikus jantan, pemberian dosis tinggi ternyata telah menyebabkan adanya pertumbuhan sel-sel payudara yang abnormal, walaupun tidak sampai menyebabkan timbulnya kanker atau perubahan organ reproduksi.
Menurut Heather Patisaul, seorang ahli pengembangan biologis pada North Carolina State University, sistim reproduksi kita dengan sistem reproduksi tikus tidak berbeda. Demikian juga dengan hormon-hormon-nya.
Masalahnya adalah dampak yang ditimbulkannya. Jika dampak pada kesuburan tersebut menimpa orang dewasa, maka untuk dapat mengatasinya cukup dengan cara mengurangi pola mengonsumsi kedelainya. Tetapi, jika dampaknya tersebut menimpa sistim reproduksi bayi, maka dampak tersebut bisa merupakan dampak yang permanen.
Akan tetapi, sampai saat ini baru sebuah studi yang dilakukan untuk melihat efek jangka panjang dari susu formula yang berasal dari kedelai, yaitu mengenai dampaknya terhadap sistim reproduksi manusia.
Didalam hal ini, ternyata telah ditemukan fakta bahwa bahwa wanita yang mengonsumsi susu formula kedelai ternyata banyak yang mengalami gangguan menstruasi termasuk mengalami kram pada saat mentruasi.
Menurut Patisaul, perkembangan otak yang dimulai sejak bayi dalam kandungan dan berlanjut hingga masa pubertasnya, juga dapat menjadi berubah sebagai akibat dari adanya estrogen pada kedelai tersebut.
Masalahnya saat ini adalah kandungan isoflavone pada setiap susu formula ternyata berbeda satu sama lain, akibat dari jenis kedele yang dipergunakan serta berbagai kondisi lainnya, seperti halnya dengan masalah kesuburan tanah dimana kedele itu ditanam. Akibatnya, besar kandungan genisteinnya sulit untuk dikontrol.
Pada tahun 2008, American Association of Pediatricians telah mempelajari semua studi ilmiah mengenai hal ini, akan tetapi mereka menyatakan bahwa sampai saat itu belum ditemukan bukti yang cukup meyakinkan bahwa susu formula memiliki dampak buruk pada perkembangan bayi, sistim reproduksi maupun fungsi endokrin mereka.
Walau demikian, melakukan pembatasan dalam pemberiannya tidaklah akan sampai merugikan.
Hal ini mirip dengan masalah efek Bisphenol A atau BPA yang jugas merupakan senyawa estrogenik yang terdapat pada botol plastik yang menyebabkan banyak ilmuwan memperkirakan akan dapat membahayakan otak dan perkembangan alat reproduksi.
Disarikan dan dialih bahasakan dari tulisan Lindsey Konkel pada Environmental Health News edisi 3 November 2009 oleh WS Djaka Panungkas
Dalam mencari makanan sehat, pada saat ini banyak orang Amerika yang mengonsumsi bahan makanan yang berasal dari kedelai lebih dari yang sebelumnya. Padahal, beberapa penelitian pada hewan yang dilakukan akhir-akhir ini justru menunjukkan bahwa pada hewan yang mengonsumsinya dalam jumlah yang besar ternyata berdampak buruk pada kesuburan serta perkembangan alat reproduksi mereka.
Padahal, makanan yang berbahan dasar kedelai pada saat ini tersebar luas di seluruh Amerika Serikat. Bahkan lebih dari seperempat jumlah susu formula yang ada dipasaran mereka, terbuat dari bahan dasar tersebut.
Selain itu, pihak US Food and Drug Administration-pun telah mempromosikannya sebagai makanan yang mampu mengurangi risiko seseorang untuk terserang penyakit jantung, dan bahkan program makan siang disekolahpun yang dilakukan di seluruh negara tersebut telah menambahkan kedelai hamburger patties sebagai bagian dari menu didalamnya.
Memang banyak manfaat dari isoflavon yaitu senyawa mirip estrogen yang terkandung didalamnya tersebut bagi kesehatan. Namun masalahnya kini, adalah bahwa beberapa penelitian yang dilakukan terhadap hewan justru menunjukkan hal sebaliknya, karena hewan yang diberi sejumlah besar makanan yang mengandung isoflavon tersebut ternyata kesuburan dari hewan betinanya menjadi menurun dan menimbulkan dampak pubertas dini pada hewan-hewan tersebut. Selain itu, ternyata kandungan isoflavon yang terdapat didalamnya juga mampu mengganggu perkembangan janin serta perkembangan anak-anak mereka.
Meskipun hampir semua penelitian mengenai genistein yaitu salah satu bentuk isoflavone yang terdapat pada kedelai tersebut dilakukannya hanya terhadap mencit, akan tetapi telah cukup membuat banyak ilmuwan yakin bahwa mungkin juga dapat terjadi pada diri manusia.
Sejak awal 1990-an, konsumsi kedelai di Amerika Serikat sangat membumbung tinggi, hingga penjualan makanan yang terbuat dari kedelai yang pada tahun 1992 hanya mencapai nilai jual sebesar $ 300 juta pada tahun 2008 telah naik menjadi $ 4 miliar. Sebagai dampak dari beberapa studi klinis yang telah berhasil menunjukkan bahwa dengan mengonsumsi kedelai kita akan dapat menurunkan kadar kolesterol serta menurunkan resiko untuk terkena kanker payudara serta kanker prostat.
Tapi Newbold serta para peneliti lainnya tidak yakin bahwa makan yang mengandung kedelai akan dapat membuat semua orang menjadi lebih sehat. Karena bayi yang diberi susu formula yang terbuat dari kedelai, akan memperoleh asupan genistein sekitar enam sampai 11 kali lebih tinggi dari kadar yang dapat menimbulkan dampak buruk pada sistim hormonal seorang dewasa.
Karena menurut Newbold : "Memberikan hormon estrogen pada bayi atau anak bagaimanapun juga tidak akan pernah menjadikannya sesuatu hal yang baik,".
Walaupun studi tentang efek berbahaya dari isoflavon yang terdapat pada kedelai masih sangat terbatas dan belum layak untuk dapat disimpulkan, akan tetapi bukti yang diperoleh pada studi yang dilakukan pada hewan bahwa genistein mengganggu sistim reproduksi serta perkembangan embrio tidak dapat diabaikan begitu saja.
Didalam suatu penelitian, Wen-Hsiung Chan dari Chung Yuan Christian University- Taiwan dalam publikasinya pada The Journal Reproductive Toxicology edisi bulan Juli 2009, menyatakan bahwa temuan mereka menunjukan bahwa pemberian genistein menyebabkan menurunnya kesuburan dan terjadinya perkembangan embrio abnormal pada tikus betina
Dalam penelitian tersebut, tikus-tikus tersebut diberi asupan yang mengandung satu hingga sepuluh micromoles genistein melalui air minum yang diberikan pada mereka selama kurun waktu empat hari.
Ternyata, dengan dosis yang diberikan tersebut telur menjadi lebih sedikit yang berhasil dapat dibuahi dan terjadinya peningkatan kematian sel pada embrio-embrio yang tengah berkembang.
Pada tikus jantan, pemberian dosis tinggi ternyata telah menyebabkan adanya pertumbuhan sel-sel payudara yang abnormal, walaupun tidak sampai menyebabkan timbulnya kanker atau perubahan organ reproduksi.
Menurut Heather Patisaul, seorang ahli pengembangan biologis pada North Carolina State University, sistim reproduksi kita dengan sistem reproduksi tikus tidak berbeda. Demikian juga dengan hormon-hormon-nya.
Masalahnya adalah dampak yang ditimbulkannya. Jika dampak pada kesuburan tersebut menimpa orang dewasa, maka untuk dapat mengatasinya cukup dengan cara mengurangi pola mengonsumsi kedelainya. Tetapi, jika dampaknya tersebut menimpa sistim reproduksi bayi, maka dampak tersebut bisa merupakan dampak yang permanen.
Akan tetapi, sampai saat ini baru sebuah studi yang dilakukan untuk melihat efek jangka panjang dari susu formula yang berasal dari kedelai, yaitu mengenai dampaknya terhadap sistim reproduksi manusia.
Didalam hal ini, ternyata telah ditemukan fakta bahwa bahwa wanita yang mengonsumsi susu formula kedelai ternyata banyak yang mengalami gangguan menstruasi termasuk mengalami kram pada saat mentruasi.
Menurut Patisaul, perkembangan otak yang dimulai sejak bayi dalam kandungan dan berlanjut hingga masa pubertasnya, juga dapat menjadi berubah sebagai akibat dari adanya estrogen pada kedelai tersebut.
Masalahnya saat ini adalah kandungan isoflavone pada setiap susu formula ternyata berbeda satu sama lain, akibat dari jenis kedele yang dipergunakan serta berbagai kondisi lainnya, seperti halnya dengan masalah kesuburan tanah dimana kedele itu ditanam. Akibatnya, besar kandungan genisteinnya sulit untuk dikontrol.
Pada tahun 2008, American Association of Pediatricians telah mempelajari semua studi ilmiah mengenai hal ini, akan tetapi mereka menyatakan bahwa sampai saat itu belum ditemukan bukti yang cukup meyakinkan bahwa susu formula memiliki dampak buruk pada perkembangan bayi, sistim reproduksi maupun fungsi endokrin mereka.
Walau demikian, melakukan pembatasan dalam pemberiannya tidaklah akan sampai merugikan.
Hal ini mirip dengan masalah efek Bisphenol A atau BPA yang jugas merupakan senyawa estrogenik yang terdapat pada botol plastik yang menyebabkan banyak ilmuwan memperkirakan akan dapat membahayakan otak dan perkembangan alat reproduksi.
Disarikan dan dialih bahasakan dari tulisan Lindsey Konkel pada Environmental Health News edisi 3 November 2009 oleh WS Djaka Panungkas
Beberapa hasil penelitian yang dilakukan pada akhir-akhir ini menunjukkan bahwa mengonsumsi terlalu banyak senyawa kimia yang mirip estrogen dan terkandung pada kedele ternyata selain mampu menurunkan kesuburan pada seorang wanita, ternyata juga dapat menyebabkan terjadinya pubertas dini, mengganggu perkembangan janin serta menghambat pertumbuhan anak-anak
Dalam mencari makanan sehat, pada saat ini banyak orang Amerika yang mengonsumsi bahan makanan yang berasal dari kedelai lebih dari yang sebelumnya. Padahal, beberapa penelitian pada hewan yang dilakukan akhir-akhir ini justru menunjukkan bahwa pada hewan yang mengonsumsinya dalam jumlah yang besar ternyata berdampak buruk pada kesuburan serta perkembangan alat reproduksi mereka.
Padahal, makanan yang berbahan dasar kedelai pada saat ini tersebar luas di seluruh Amerika Serikat. Bahkan lebih dari seperempat jumlah susu formula yang ada dipasaran mereka, terbuat dari bahan dasar tersebut.
Selain itu, pihak US Food and Drug Administration-pun telah mempromosikannya sebagai makanan yang mampu mengurangi risiko seseorang untuk terserang penyakit jantung, dan bahkan program makan siang disekolahpun yang dilakukan di seluruh negara tersebut telah menambahkan kedelai hamburger patties sebagai bagian dari menu didalamnya.
Memang banyak manfaat dari isoflavon yaitu senyawa mirip estrogen yang terkandung didalamnya tersebut bagi kesehatan. Namun masalahnya kini, adalah bahwa beberapa penelitian yang dilakukan terhadap hewan justru menunjukkan hal sebaliknya, karena hewan yang diberi sejumlah besar makanan yang mengandung isoflavon tersebut ternyata kesuburan dari hewan betinanya menjadi menurun dan menimbulkan dampak pubertas dini pada hewan-hewan tersebut. Selain itu, ternyata kandungan isoflavon yang terdapat didalamnya juga mampu mengganggu perkembangan janin serta perkembangan anak-anak mereka.
Meskipun hampir semua penelitian mengenai genistein yaitu salah satu bentuk isoflavone yang terdapat pada kedelai tersebut dilakukannya hanya terhadap mencit, akan tetapi telah cukup membuat banyak ilmuwan yakin bahwa mungkin juga dapat terjadi pada diri manusia.
Sejak awal 1990-an, konsumsi kedelai di Amerika Serikat sangat membumbung tinggi, hingga penjualan makanan yang terbuat dari kedelai yang pada tahun 1992 hanya mencapai nilai jual sebesar $ 300 juta pada tahun 2008 telah naik menjadi $ 4 miliar. Sebagai dampak dari beberapa studi klinis yang telah berhasil menunjukkan bahwa dengan mengonsumsi kedelai kita akan dapat menurunkan kadar kolesterol serta menurunkan resiko untuk terkena kanker payudara serta kanker prostat.
Tapi Newbold serta para peneliti lainnya tidak yakin bahwa makan yang mengandung kedelai akan dapat membuat semua orang menjadi lebih sehat. Karena bayi yang diberi susu formula yang terbuat dari kedelai, akan memperoleh asupan genistein sekitar enam sampai 11 kali lebih tinggi dari kadar yang dapat menimbulkan dampak buruk pada sistim hormonal seorang dewasa.
Karena menurut Newbold : "Memberikan hormon estrogen pada bayi atau anak bagaimanapun juga tidak akan pernah menjadikannya sesuatu hal yang baik,".
Walaupun studi tentang efek berbahaya dari isoflavon yang terdapat pada kedelai masih sangat terbatas dan belum layak untuk dapat disimpulkan, akan tetapi bukti yang diperoleh pada studi yang dilakukan pada hewan bahwa genistein mengganggu sistim reproduksi serta perkembangan embrio tidak dapat diabaikan begitu saja.
Didalam suatu penelitian, Wen-Hsiung Chan dari Chung Yuan Christian University- Taiwan dalam publikasinya pada The Journal Reproductive Toxicology edisi bulan Juli 2009, menyatakan bahwa temuan mereka menunjukan bahwa pemberian genistein menyebabkan menurunnya kesuburan dan terjadinya perkembangan embrio abnormal pada tikus betina
Dalam penelitian tersebut, tikus-tikus tersebut diberi asupan yang mengandung satu hingga sepuluh micromoles genistein melalui air minum yang diberikan pada mereka selama kurun waktu empat hari.
Ternyata, dengan dosis yang diberikan tersebut telur menjadi lebih sedikit yang berhasil dapat dibuahi dan terjadinya peningkatan kematian sel pada embrio-embrio yang tengah berkembang.
Pada tikus jantan, pemberian dosis tinggi ternyata telah menyebabkan adanya pertumbuhan sel-sel payudara yang abnormal, walaupun tidak sampai menyebabkan timbulnya kanker atau perubahan organ reproduksi.
Menurut Heather Patisaul, seorang ahli pengembangan biologis pada North Carolina State University, sistim reproduksi kita dengan sistem reproduksi tikus tidak berbeda. Demikian juga dengan hormon-hormon-nya.
Masalahnya adalah dampak yang ditimbulkannya. Jika dampak pada kesuburan tersebut menimpa orang dewasa, maka untuk dapat mengatasinya cukup dengan cara mengurangi pola mengonsumsi kedelainya. Tetapi, jika dampaknya tersebut menimpa sistim reproduksi bayi, maka dampak tersebut bisa merupakan dampak yang permanen.
Akan tetapi, sampai saat ini baru sebuah studi yang dilakukan untuk melihat efek jangka panjang dari susu formula yang berasal dari kedelai, yaitu mengenai dampaknya terhadap sistim reproduksi manusia.
Didalam hal ini, ternyata telah ditemukan fakta bahwa bahwa wanita yang mengonsumsi susu formula kedelai ternyata banyak yang mengalami gangguan menstruasi termasuk mengalami kram pada saat mentruasi.
Menurut Patisaul, perkembangan otak yang dimulai sejak bayi dalam kandungan dan berlanjut hingga masa pubertasnya, juga dapat menjadi berubah sebagai akibat dari adanya estrogen pada kedelai tersebut.
Masalahnya saat ini adalah kandungan isoflavone pada setiap susu formula ternyata berbeda satu sama lain, akibat dari jenis kedele yang dipergunakan serta berbagai kondisi lainnya, seperti halnya dengan masalah kesuburan tanah dimana kedele itu ditanam. Akibatnya, besar kandungan genisteinnya sulit untuk dikontrol.
Pada tahun 2008, American Association of Pediatricians telah mempelajari semua studi ilmiah mengenai hal ini, akan tetapi mereka menyatakan bahwa sampai saat itu belum ditemukan bukti yang cukup meyakinkan bahwa susu formula memiliki dampak buruk pada perkembangan bayi, sistim reproduksi maupun fungsi endokrin mereka.
Walau demikian, melakukan pembatasan dalam pemberiannya tidaklah akan sampai merugikan.
Hal ini mirip dengan masalah efek Bisphenol A atau BPA yang jugas merupakan senyawa estrogenik yang terdapat pada botol plastik yang menyebabkan banyak ilmuwan memperkirakan akan dapat membahayakan otak dan perkembangan alat reproduksi.
Disarikan dan dialih bahasakan dari tulisan Lindsey Konkel pada Environmental Health News edisi 3 November 2009 oleh WS Djaka Panungkas
Sabtu, 12 Maret 2011
Berpikir Positif Membuat Obat Bekerja Jauh Lebih Effektif
/* Sebuah penelitian yang baru-baru ini dilakukan dan dipublikasikan pada jurnal Science Translational Medicine edisi 16 Februari 2011 yang lalu, telah mrnjumpai suatu kenyataan bahwa harapan yang dimiliki ternyata berpengaruh sangat besar terhadap efektifitas kerja obat pereda nyeri yang saat penelitian tersebut dilakukan, diberikan.
Dalam penelitian yang mereka lakukan tersebut, telah telah berhasil mereka buktikan bahwa perasaan optimis yang dimiliki para relawan yang dilibatkan menjadikan obat yang diberikan secara efektif mampu meredakan rasa nyeri pada diri mereka, sedangkan pada para relawan yang memiliki rasa pesimis justru efektifitasnya dalam meredakan sakit, menurun.
Tidak seperti halnya yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya, kali ini penelitian tersebut secara khusus mempergunakan teknik pencitraan otak untuk memeriksa aktifitas kerja daerah otak yang terkait dengan timbulnya rasa sakit tersebut.
Para ilmuwan tersebut menyatakan bahwa sampai saat itu baru sedikit sekali para peneliti yang melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui mekanisme proses otak hingga setiap bentuk harapan yang berebeda memiliki pengaruh yang berbeda juga pada effektifitas obat yang saat itu diberikan.
Kekuatan Dari Harapan
Didalam hal ini, para peneliti dari German dan Inggris dalam meneliti dampak dari bentuk harapan yaitu baik harapan ang sifatnya positip maupun yang negatip tersebut melalui cara men-scan aktifitas yang terjadi pada otak dari para relawan yang kondisi tubuhnya berada didalam keadaan ang sehat.
Cara yang mereka lakukan, adalah dengan memanfaatkan sumber panas dalam menimbulkan rasa sakit pada para relawan tersebut pada saat otak mereka di-scan dan diberi obat penghilang rasa sakit.
Para peneliti tersebut menuliskan bahwa harapan yang dimiliki ternyata dapat melipat gandakan efektifitas dari obat yang mereka berikan, sedangkan disisi lain kecemasan yang dimiliki nampak sekali justru menurunkan efektifitasnya.
Padahal, obat yang diberikan pada saat itu adalah Ultiva yang merupakan obat penghilang rasa sakit yang diberikan secara Intra Vena dan pada umumnya dipergunakan untuk menghilangkan rasa sakit selama menjalani oprasi.
Dengan hal yang seperti ini, menurut Irene Tracey dari Oxford University Center for Functional Magnetic Resonance Imaging of Thei Brain mengatakan bahwa setiap dokter sebaiknya tidak meremehkan dampak yang akan timbul jika pasien mereka tidak terpicu harapannya oleh cara mereka memperlakukan pasien-pasien tersebut..
Dua puluh dua relawan sehat telah mengambil bagian didalam studi ini. Mereka secara intravena diberi obat penghilang rasa sakit, kaki mereka dipasang alat pemanas dengan suhu 70 derajat untuk mengetahui respon rasa sakit masing-masing, dan dipantau dengan alat MRI.
Tanpa sepengetahuan para relawan, para peneliti tersebut pada saat itu telah memberikan obat penghilang rasa sakit tersebut sebelumnya, untuk mengetahui berapa jauh dampak yang akan ditimbulkannya jika mereka tidak mengetahuinya hingga timbul kecemasan pada diri mereka.
Hasilnya, relawan yang merasakan rasa sakit pada awalnya adalah 66 persen dari mereka, tetapi tidak lama kemudian turun menjadi 55 persennya.
Ketika selanjutnya para relawan tersebut diberi tahu bahwa obat penghilang rasa sakit saat itu tengah mulai diberikan (walau sebenarnya tidak karena sudah dari sebelumnya diberikan), peringkat para relawan yang masih merasakan rasa sakit turun drastis ke angka 39 % dari mereka.
Ketika pada langkah selanjutnya dimana para relawan tersebut dibuat agar berpikir bahwa pemberian obat penghilang rasa sakit tersebut telah dihentikan (padahal tidak) serta bahwa rasa nyeri pasti akan timbul, ternyata bahwa peringkat dari yang merasakan rasa nyeri pada saat itu kembali naik hingga 64 % dari mereka.
Disisi lain, hasil MRI menunjukkan bahwa otak telah merespon adanya rasa nyeri setara dengan harapan yang dimiliki para relawan tersebut.
Hingga menurut Tracey,dengan keadaan seperti ini setiap dokter harus mulai menyadari akan besarnya manfaat peran kekuatan harapan yang dimiliki oleh setiap pasien didalam setiap jenis perawatan yang akan dilakukan.
Dialihbahasa dan disarikan dari tulisan Bill Hendrick dalam WebMD Health News oleh WS Djaka Panungkas Sebuah penelitian yang baru-baru ini dilakukan dan dipublikasikan pada jurnal Science Translational Medicine edisi 16 Februari 2011 yang lalu, telah mrnjumpai suatu kenyataan bahwa harapan yang dimiliki ternyata berpengaruh sangat besar terhadap efektifitas kerja obat pereda nyeri yang saat penelitian tersebut dilakukan, diberikan.
Dalam penelitian yang mereka lakukan tersebut, telah telah berhasil mereka buktikan bahwa perasaan optimis yang dimiliki para relawan yang dilibatkan menjadikan obat yang diberikan secara efektif mampu meredakan rasa nyeri pada diri mereka, sedangkan pada para relawan yang memiliki rasa pesimis justru efektifitasnya dalam meredakan sakit, menurun.
Tidak seperti halnya yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya, kali ini penelitian tersebut secara khusus mempergunakan teknik pencitraan otak untuk memeriksa aktifitas kerja daerah otak yang terkait dengan timbulnya rasa sakit tersebut.
Para ilmuwan tersebut menyatakan bahwa sampai saat itu baru sedikit sekali para peneliti yang melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui mekanisme proses otak hingga setiap bentuk harapan yang berebeda memiliki pengaruh yang berbeda juga pada effektifitas obat yang saat itu diberikan.
Kekuatan Dari Harapan
Didalam hal ini, para peneliti dari German dan Inggris dalam meneliti dampak dari bentuk harapan yaitu baik harapan ang sifatnya positip maupun yang negatip tersebut melalui cara men-scan aktifitas yang terjadi pada otak dari para relawan yang kondisi tubuhnya berada didalam keadaan ang sehat.
Cara yang mereka lakukan, adalah dengan memanfaatkan sumber panas dalam menimbulkan rasa sakit pada para relawan tersebut pada saat otak mereka di-scan dan diberi obat penghilang rasa sakit.
Para peneliti tersebut menuliskan bahwa harapan yang dimiliki ternyata dapat melipat gandakan efektifitas dari obat yang mereka berikan, sedangkan disisi lain kecemasan yang dimiliki nampak sekali justru menurunkan efektifitasnya.
Padahal, obat yang diberikan pada saat itu adalah Ultiva yang merupakan obat penghilang rasa sakit yang diberikan secara Intra Vena dan pada umumnya dipergunakan untuk menghilangkan rasa sakit selama menjalani oprasi.
Dengan hal yang seperti ini, menurut Irene Tracey dari Oxford University Center for Functional Magnetic Resonance Imaging of Thei Brain mengatakan bahwa setiap dokter sebaiknya tidak meremehkan dampak yang akan timbul jika pasien mereka tidak terpicu harapannya oleh cara mereka memperlakukan pasien-pasien tersebut..
Dua puluh dua relawan sehat telah mengambil bagian didalam studi ini. Mereka secara intravena diberi obat penghilang rasa sakit, kaki mereka dipasang alat pemanas dengan suhu 70 derajat untuk mengetahui respon rasa sakit masing-masing, dan dipantau dengan alat MRI.
Tanpa sepengetahuan para relawan, para peneliti tersebut pada saat itu telah memberikan obat penghilang rasa sakit tersebut sebelumnya, untuk mengetahui berapa jauh dampak yang akan ditimbulkannya jika mereka tidak mengetahuinya hingga timbul kecemasan pada diri mereka.
Hasilnya, relawan yang merasakan rasa sakit pada awalnya adalah 66 persen dari mereka, tetapi tidak lama kemudian turun menjadi 55 persennya.
Ketika selanjutnya para relawan tersebut diberi tahu bahwa obat penghilang rasa sakit saat itu tengah mulai diberikan (walau sebenarnya tidak karena sudah dari sebelumnya diberikan), peringkat para relawan yang masih merasakan rasa sakit turun drastis ke angka 39 % dari mereka.
Ketika pada langkah selanjutnya dimana para relawan tersebut dibuat agar berpikir bahwa pemberian obat penghilang rasa sakit tersebut telah dihentikan (padahal tidak) serta bahwa rasa nyeri pasti akan timbul, ternyata bahwa peringkat dari yang merasakan rasa nyeri pada saat itu kembali naik hingga 64 % dari mereka.
Disisi lain, hasil MRI menunjukkan bahwa otak telah merespon adanya rasa nyeri setara dengan harapan yang dimiliki para relawan tersebut.
Hingga menurut Tracey,dengan keadaan seperti ini setiap dokter harus mulai menyadari akan besarnya manfaat peran kekuatan harapan yang dimiliki oleh setiap pasien didalam setiap jenis perawatan yang akan dilakukan.
Dialihbahasa dan disarikan dari tulisan Bill Hendrick dalam WebMD Health News oleh WS Djaka Panungkas
Dalam penelitian yang mereka lakukan tersebut, telah telah berhasil mereka buktikan bahwa perasaan optimis yang dimiliki para relawan yang dilibatkan menjadikan obat yang diberikan secara efektif mampu meredakan rasa nyeri pada diri mereka, sedangkan pada para relawan yang memiliki rasa pesimis justru efektifitasnya dalam meredakan sakit, menurun.
Tidak seperti halnya yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya, kali ini penelitian tersebut secara khusus mempergunakan teknik pencitraan otak untuk memeriksa aktifitas kerja daerah otak yang terkait dengan timbulnya rasa sakit tersebut.
Para ilmuwan tersebut menyatakan bahwa sampai saat itu baru sedikit sekali para peneliti yang melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui mekanisme proses otak hingga setiap bentuk harapan yang berebeda memiliki pengaruh yang berbeda juga pada effektifitas obat yang saat itu diberikan.
Kekuatan Dari Harapan
Didalam hal ini, para peneliti dari German dan Inggris dalam meneliti dampak dari bentuk harapan yaitu baik harapan ang sifatnya positip maupun yang negatip tersebut melalui cara men-scan aktifitas yang terjadi pada otak dari para relawan yang kondisi tubuhnya berada didalam keadaan ang sehat.
Cara yang mereka lakukan, adalah dengan memanfaatkan sumber panas dalam menimbulkan rasa sakit pada para relawan tersebut pada saat otak mereka di-scan dan diberi obat penghilang rasa sakit.
Para peneliti tersebut menuliskan bahwa harapan yang dimiliki ternyata dapat melipat gandakan efektifitas dari obat yang mereka berikan, sedangkan disisi lain kecemasan yang dimiliki nampak sekali justru menurunkan efektifitasnya.
Padahal, obat yang diberikan pada saat itu adalah Ultiva yang merupakan obat penghilang rasa sakit yang diberikan secara Intra Vena dan pada umumnya dipergunakan untuk menghilangkan rasa sakit selama menjalani oprasi.
Dengan hal yang seperti ini, menurut Irene Tracey dari Oxford University Center for Functional Magnetic Resonance Imaging of Thei Brain mengatakan bahwa setiap dokter sebaiknya tidak meremehkan dampak yang akan timbul jika pasien mereka tidak terpicu harapannya oleh cara mereka memperlakukan pasien-pasien tersebut..
Dua puluh dua relawan sehat telah mengambil bagian didalam studi ini. Mereka secara intravena diberi obat penghilang rasa sakit, kaki mereka dipasang alat pemanas dengan suhu 70 derajat untuk mengetahui respon rasa sakit masing-masing, dan dipantau dengan alat MRI.
Tanpa sepengetahuan para relawan, para peneliti tersebut pada saat itu telah memberikan obat penghilang rasa sakit tersebut sebelumnya, untuk mengetahui berapa jauh dampak yang akan ditimbulkannya jika mereka tidak mengetahuinya hingga timbul kecemasan pada diri mereka.
Hasilnya, relawan yang merasakan rasa sakit pada awalnya adalah 66 persen dari mereka, tetapi tidak lama kemudian turun menjadi 55 persennya.
Ketika selanjutnya para relawan tersebut diberi tahu bahwa obat penghilang rasa sakit saat itu tengah mulai diberikan (walau sebenarnya tidak karena sudah dari sebelumnya diberikan), peringkat para relawan yang masih merasakan rasa sakit turun drastis ke angka 39 % dari mereka.
Ketika pada langkah selanjutnya dimana para relawan tersebut dibuat agar berpikir bahwa pemberian obat penghilang rasa sakit tersebut telah dihentikan (padahal tidak) serta bahwa rasa nyeri pasti akan timbul, ternyata bahwa peringkat dari yang merasakan rasa nyeri pada saat itu kembali naik hingga 64 % dari mereka.
Disisi lain, hasil MRI menunjukkan bahwa otak telah merespon adanya rasa nyeri setara dengan harapan yang dimiliki para relawan tersebut.
Hingga menurut Tracey,dengan keadaan seperti ini setiap dokter harus mulai menyadari akan besarnya manfaat peran kekuatan harapan yang dimiliki oleh setiap pasien didalam setiap jenis perawatan yang akan dilakukan.
Dialihbahasa dan disarikan dari tulisan Bill Hendrick dalam WebMD Health News oleh WS Djaka Panungkas Sebuah penelitian yang baru-baru ini dilakukan dan dipublikasikan pada jurnal Science Translational Medicine edisi 16 Februari 2011 yang lalu, telah mrnjumpai suatu kenyataan bahwa harapan yang dimiliki ternyata berpengaruh sangat besar terhadap efektifitas kerja obat pereda nyeri yang saat penelitian tersebut dilakukan, diberikan.
Dalam penelitian yang mereka lakukan tersebut, telah telah berhasil mereka buktikan bahwa perasaan optimis yang dimiliki para relawan yang dilibatkan menjadikan obat yang diberikan secara efektif mampu meredakan rasa nyeri pada diri mereka, sedangkan pada para relawan yang memiliki rasa pesimis justru efektifitasnya dalam meredakan sakit, menurun.
Tidak seperti halnya yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya, kali ini penelitian tersebut secara khusus mempergunakan teknik pencitraan otak untuk memeriksa aktifitas kerja daerah otak yang terkait dengan timbulnya rasa sakit tersebut.
Para ilmuwan tersebut menyatakan bahwa sampai saat itu baru sedikit sekali para peneliti yang melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui mekanisme proses otak hingga setiap bentuk harapan yang berebeda memiliki pengaruh yang berbeda juga pada effektifitas obat yang saat itu diberikan.
Kekuatan Dari Harapan
Didalam hal ini, para peneliti dari German dan Inggris dalam meneliti dampak dari bentuk harapan yaitu baik harapan ang sifatnya positip maupun yang negatip tersebut melalui cara men-scan aktifitas yang terjadi pada otak dari para relawan yang kondisi tubuhnya berada didalam keadaan ang sehat.
Cara yang mereka lakukan, adalah dengan memanfaatkan sumber panas dalam menimbulkan rasa sakit pada para relawan tersebut pada saat otak mereka di-scan dan diberi obat penghilang rasa sakit.
Para peneliti tersebut menuliskan bahwa harapan yang dimiliki ternyata dapat melipat gandakan efektifitas dari obat yang mereka berikan, sedangkan disisi lain kecemasan yang dimiliki nampak sekali justru menurunkan efektifitasnya.
Padahal, obat yang diberikan pada saat itu adalah Ultiva yang merupakan obat penghilang rasa sakit yang diberikan secara Intra Vena dan pada umumnya dipergunakan untuk menghilangkan rasa sakit selama menjalani oprasi.
Dengan hal yang seperti ini, menurut Irene Tracey dari Oxford University Center for Functional Magnetic Resonance Imaging of Thei Brain mengatakan bahwa setiap dokter sebaiknya tidak meremehkan dampak yang akan timbul jika pasien mereka tidak terpicu harapannya oleh cara mereka memperlakukan pasien-pasien tersebut..
Dua puluh dua relawan sehat telah mengambil bagian didalam studi ini. Mereka secara intravena diberi obat penghilang rasa sakit, kaki mereka dipasang alat pemanas dengan suhu 70 derajat untuk mengetahui respon rasa sakit masing-masing, dan dipantau dengan alat MRI.
Tanpa sepengetahuan para relawan, para peneliti tersebut pada saat itu telah memberikan obat penghilang rasa sakit tersebut sebelumnya, untuk mengetahui berapa jauh dampak yang akan ditimbulkannya jika mereka tidak mengetahuinya hingga timbul kecemasan pada diri mereka.
Hasilnya, relawan yang merasakan rasa sakit pada awalnya adalah 66 persen dari mereka, tetapi tidak lama kemudian turun menjadi 55 persennya.
Ketika selanjutnya para relawan tersebut diberi tahu bahwa obat penghilang rasa sakit saat itu tengah mulai diberikan (walau sebenarnya tidak karena sudah dari sebelumnya diberikan), peringkat para relawan yang masih merasakan rasa sakit turun drastis ke angka 39 % dari mereka.
Ketika pada langkah selanjutnya dimana para relawan tersebut dibuat agar berpikir bahwa pemberian obat penghilang rasa sakit tersebut telah dihentikan (padahal tidak) serta bahwa rasa nyeri pasti akan timbul, ternyata bahwa peringkat dari yang merasakan rasa nyeri pada saat itu kembali naik hingga 64 % dari mereka.
Disisi lain, hasil MRI menunjukkan bahwa otak telah merespon adanya rasa nyeri setara dengan harapan yang dimiliki para relawan tersebut.
Hingga menurut Tracey,dengan keadaan seperti ini setiap dokter harus mulai menyadari akan besarnya manfaat peran kekuatan harapan yang dimiliki oleh setiap pasien didalam setiap jenis perawatan yang akan dilakukan.
Dialihbahasa dan disarikan dari tulisan Bill Hendrick dalam WebMD Health News oleh WS Djaka Panungkas
Jumat, 04 Maret 2011
Keyakinan Bahwa Dapat Pulih Kembali Pada Para Penderita Penyakit Jantung Koroner Mampu Menyelamatkan Mereka
/* Suatu penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Duke University Medical Center telah berhasil menemukan suatu kenyataan bahwa para penderita jantung koroner yang memiliki keyakinan positif yaitu bahwa mereka akan dapat kembali pulih seperti sediakala, ternyata lebih sedikit yang mengalami kematian dalam kurun waktu 15 tahun yaitu selama penelitian dilakukan, serta pada tahun pertama dari kepulihan mereka keadaan fungsi fisik mereka ternyata jauh lebih baik dari yang tidak memiliki keyakinan positip.
Jika pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya para peneliti telah berhasil menemukan kenyataan bahwa para penderita penyakit jantung koroner yang memiliki harapan yang optimis secara positip telah dapat mempengaruhi status fungsional jantung mereka, hingga dapat kembali melakukan aktifitas kehidupan normal mereka masing-masing
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan kali ini, hasil yang diperoleh telah jauh lebih menunjukan besarnya pengaruh keyakinan terhadap kesehatan bahkan mampu menyelamatkan dari kematian dalam jangka waktu yang cukup lama, seperti yang dipublikasikan oleh Archives of Internal Medicine.
Para peneliti dari Duke University Medical Center tersebut, dalam penelitian ini telah melibatkan 2.818 orang penderita penyakit jantung koroner, untuk diteliti mengenai sejauh mana harapan yang dimiliki oleh seorang pasien akan dapat mempengaruhi proses pemulihan diri mereka dan meningkatkan kemampuan mereka untuk dapat melakukan kegiatan fisik yang normal.
Untuk hal ini, para pasien yang dilibatkan terlebih dahulu diminta untuk mengisi kuesioner yang ditujukan untuk mengetahui sikap yang mereka miliki terhadap apa yang sedang mereka saat itu, seperti halnya "pengaruh keadaan kondisi jantung saya saat ini hanya akan memiliki pengaruh yang sangat kecil atau sama sekali tidak akan mempengaruhi kemampuan saya dalam melakukan pekerjaan sehari-hari saya," atau "Saya kira kondisi jantung saya akan membatasi kemampuan saya dalam beraktifitas” dan keyakinan akan masa depan mereka seperti halnya "Saya yakin sepenuhnya bahwa saya masih bisa hidup lebih lama lagi dan sehat kembali " atau " Saya tidak yakin bahwa saya akan dapat pulih sepenuhnya dengan keadaan jantung saya yang seperti ini ".
Dalam hal ini, John C. Barefoot, PhD, beserta timnya juga secara khusus telah memperhitungkan pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor keparahan penyakit, riwayat kesehatan yang mereka miliki masing-masing, gejala depresi yang saat itu dimiliki, dukungan sosial yang mereka terima, usia, jenis kelamin, pendidikan serta penghasilan mereka kedalam penelitian ini.
Terlepas dari adanya faktor-faktor diatas, pada kenyataannya tingkat kematian yang dialami oleh para pasien yang memiliki faktor harapan yang tinggi hanya mencapai 31,8 kematian per 100 orang pasien, sedangkan kematian yang dialami oleh para pasien yang memiliki faktor harapan rendah ternyata yang dicapai mereka adalah 46,2 kematian per 100 orang pasien.
Dengan demikian, maka ternyata para pasien yang memiliki harapan serta perasaan optimis untuk dapat segera pulih kembali mampu merubah kondisi fisik mereka hingga menurunkan kemungkinan mengalami kematian akibat penyakit mereka hingga 17% selama masa studi dilakukan, yaitu 15 tahun.
Barefoot mengatakan bahwa : "Memang kami sebelumnya telah mengetahui tentang adanya hubungan antara depresi yang dialami dengan peningkatan angka kematian. Akan tetapi, dalam penelitian yang kami lakukan ini kami telah berhasil menunjukkan tentang betapa besarnya dampak dari sebuah harapan terhadap proses pemulihan diri seorang pasien, karena dirinya mampu mengatasi masalah-masalah yang menyebabkan depresi maupun faktor-faktor psikologis dan sosial lainnya."
Menurut Barefoot dan rekan-rekannya, terdapat dua kemungkinan dalam hal ini. Yang pertama adalah kelompok yang merasa optimis cenderung menjadkan dirinya rajin untuk mengikuti arahan yang diberikan selama mereka menjalani terapi tanpa merasa bosan atau terjebak menggeluti emosi, hingga memiliki dampak yang positip bagi proses penyembuhan mereka.
Sedang kelompok yang memiliki tanggapan negatif cenderung menjadikan dirinya diliputi stres dan ketegangan, hingga merusak tubuh serta meningkatkan risiko pada diri mereka untuk kembali mengalami serangan jantungi.
Dialihbahasa dan disarikan oleh WS Djaka Panungkas dari tulisan Courtney Ware dalam WebMD Health News 28 Februari 2011 Suatu penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Duke University Medical Center telah berhasil menemukan suatu kenyataan bahwa para penderita jantung koroner yang memiliki keyakinan positif yaitu bahwa mereka akan dapat kembali pulih seperti sediakala, ternyata lebih sedikit yang mengalami kematian dalam kurun waktu 15 tahun yaitu selama penelitian dilakukan, serta pada tahun pertama dari kepulihan mereka keadaan fungsi fisik mereka ternyata jauh lebih baik dari yang tidak memiliki keyakinan positip.
Jika pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya para peneliti telah berhasil menemukan kenyataan bahwa para penderita penyakit jantung koroner yang memiliki harapan yang optimis secara positip telah dapat mempengaruhi status fungsional jantung mereka, hingga dapat kembali melakukan aktifitas kehidupan normal mereka masing-masing
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan kali ini, hasil yang diperoleh telah jauh lebih menunjukan besarnya pengaruh keyakinan terhadap kesehatan bahkan mampu menyelamatkan dari kematian dalam jangka waktu yang cukup lama, seperti yang dipublikasikan oleh Archives of Internal Medicine.
Para peneliti dari Duke University Medical Center tersebut, dalam penelitian ini telah melibatkan 2.818 orang penderita penyakit jantung koroner, untuk diteliti mengenai sejauh mana harapan yang dimiliki oleh seorang pasien akan dapat mempengaruhi proses pemulihan diri mereka dan meningkatkan kemampuan mereka untuk dapat melakukan kegiatan fisik yang normal.
Untuk hal ini, para pasien yang dilibatkan terlebih dahulu diminta untuk mengisi kuesioner yang ditujukan untuk mengetahui sikap yang mereka miliki terhadap apa yang sedang mereka saat itu, seperti halnya "pengaruh keadaan kondisi jantung saya saat ini hanya akan memiliki pengaruh yang sangat kecil atau sama sekali tidak akan mempengaruhi kemampuan saya dalam melakukan pekerjaan sehari-hari saya," atau "Saya kira kondisi jantung saya akan membatasi kemampuan saya dalam beraktifitas” dan keyakinan akan masa depan mereka seperti halnya "Saya yakin sepenuhnya bahwa saya masih bisa hidup lebih lama lagi dan sehat kembali " atau " Saya tidak yakin bahwa saya akan dapat pulih sepenuhnya dengan keadaan jantung saya yang seperti ini ".
Dalam hal ini, John C. Barefoot, PhD, beserta timnya juga secara khusus telah memperhitungkan pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor keparahan penyakit, riwayat kesehatan yang mereka miliki masing-masing, gejala depresi yang saat itu dimiliki, dukungan sosial yang mereka terima, usia, jenis kelamin, pendidikan serta penghasilan mereka kedalam penelitian ini.
Terlepas dari adanya faktor-faktor diatas, pada kenyataannya tingkat kematian yang dialami oleh para pasien yang memiliki faktor harapan yang tinggi hanya mencapai 31,8 kematian per 100 orang pasien, sedangkan kematian yang dialami oleh para pasien yang memiliki faktor harapan rendah ternyata yang dicapai mereka adalah 46,2 kematian per 100 orang pasien.
Dengan demikian, maka ternyata para pasien yang memiliki harapan serta perasaan optimis untuk dapat segera pulih kembali mampu merubah kondisi fisik mereka hingga menurunkan kemungkinan mengalami kematian akibat penyakit mereka hingga 17% selama masa studi dilakukan, yaitu 15 tahun.
Barefoot mengatakan bahwa : "Memang kami sebelumnya telah mengetahui tentang adanya hubungan antara depresi yang dialami dengan peningkatan angka kematian. Akan tetapi, dalam penelitian yang kami lakukan ini kami telah berhasil menunjukkan tentang betapa besarnya dampak dari sebuah harapan terhadap proses pemulihan diri seorang pasien, karena dirinya mampu mengatasi masalah-masalah yang menyebabkan depresi maupun faktor-faktor psikologis dan sosial lainnya."
Menurut Barefoot dan rekan-rekannya, terdapat dua kemungkinan dalam hal ini. Yang pertama adalah kelompok yang merasa optimis cenderung menjadkan dirinya rajin untuk mengikuti arahan yang diberikan selama mereka menjalani terapi tanpa merasa bosan atau terjebak menggeluti emosi, hingga memiliki dampak yang positip bagi proses penyembuhan mereka.
Sedang kelompok yang memiliki tanggapan negatif cenderung menjadikan dirinya diliputi stres dan ketegangan, hingga merusak tubuh serta meningkatkan risiko pada diri mereka untuk kembali mengalami serangan jantungi.
Dialihbahasa dan disarikan oleh WS Djaka Panungkas dari tulisan Courtney Ware dalam WebMD Health News 28 Februari 2011
Jika pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya para peneliti telah berhasil menemukan kenyataan bahwa para penderita penyakit jantung koroner yang memiliki harapan yang optimis secara positip telah dapat mempengaruhi status fungsional jantung mereka, hingga dapat kembali melakukan aktifitas kehidupan normal mereka masing-masing
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan kali ini, hasil yang diperoleh telah jauh lebih menunjukan besarnya pengaruh keyakinan terhadap kesehatan bahkan mampu menyelamatkan dari kematian dalam jangka waktu yang cukup lama, seperti yang dipublikasikan oleh Archives of Internal Medicine.
Para peneliti dari Duke University Medical Center tersebut, dalam penelitian ini telah melibatkan 2.818 orang penderita penyakit jantung koroner, untuk diteliti mengenai sejauh mana harapan yang dimiliki oleh seorang pasien akan dapat mempengaruhi proses pemulihan diri mereka dan meningkatkan kemampuan mereka untuk dapat melakukan kegiatan fisik yang normal.
Untuk hal ini, para pasien yang dilibatkan terlebih dahulu diminta untuk mengisi kuesioner yang ditujukan untuk mengetahui sikap yang mereka miliki terhadap apa yang sedang mereka saat itu, seperti halnya "pengaruh keadaan kondisi jantung saya saat ini hanya akan memiliki pengaruh yang sangat kecil atau sama sekali tidak akan mempengaruhi kemampuan saya dalam melakukan pekerjaan sehari-hari saya," atau "Saya kira kondisi jantung saya akan membatasi kemampuan saya dalam beraktifitas” dan keyakinan akan masa depan mereka seperti halnya "Saya yakin sepenuhnya bahwa saya masih bisa hidup lebih lama lagi dan sehat kembali " atau " Saya tidak yakin bahwa saya akan dapat pulih sepenuhnya dengan keadaan jantung saya yang seperti ini ".
Dalam hal ini, John C. Barefoot, PhD, beserta timnya juga secara khusus telah memperhitungkan pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor keparahan penyakit, riwayat kesehatan yang mereka miliki masing-masing, gejala depresi yang saat itu dimiliki, dukungan sosial yang mereka terima, usia, jenis kelamin, pendidikan serta penghasilan mereka kedalam penelitian ini.
Terlepas dari adanya faktor-faktor diatas, pada kenyataannya tingkat kematian yang dialami oleh para pasien yang memiliki faktor harapan yang tinggi hanya mencapai 31,8 kematian per 100 orang pasien, sedangkan kematian yang dialami oleh para pasien yang memiliki faktor harapan rendah ternyata yang dicapai mereka adalah 46,2 kematian per 100 orang pasien.
Dengan demikian, maka ternyata para pasien yang memiliki harapan serta perasaan optimis untuk dapat segera pulih kembali mampu merubah kondisi fisik mereka hingga menurunkan kemungkinan mengalami kematian akibat penyakit mereka hingga 17% selama masa studi dilakukan, yaitu 15 tahun.
Barefoot mengatakan bahwa : "Memang kami sebelumnya telah mengetahui tentang adanya hubungan antara depresi yang dialami dengan peningkatan angka kematian. Akan tetapi, dalam penelitian yang kami lakukan ini kami telah berhasil menunjukkan tentang betapa besarnya dampak dari sebuah harapan terhadap proses pemulihan diri seorang pasien, karena dirinya mampu mengatasi masalah-masalah yang menyebabkan depresi maupun faktor-faktor psikologis dan sosial lainnya."
Menurut Barefoot dan rekan-rekannya, terdapat dua kemungkinan dalam hal ini. Yang pertama adalah kelompok yang merasa optimis cenderung menjadkan dirinya rajin untuk mengikuti arahan yang diberikan selama mereka menjalani terapi tanpa merasa bosan atau terjebak menggeluti emosi, hingga memiliki dampak yang positip bagi proses penyembuhan mereka.
Sedang kelompok yang memiliki tanggapan negatif cenderung menjadikan dirinya diliputi stres dan ketegangan, hingga merusak tubuh serta meningkatkan risiko pada diri mereka untuk kembali mengalami serangan jantungi.
Dialihbahasa dan disarikan oleh WS Djaka Panungkas dari tulisan Courtney Ware dalam WebMD Health News 28 Februari 2011 Suatu penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Duke University Medical Center telah berhasil menemukan suatu kenyataan bahwa para penderita jantung koroner yang memiliki keyakinan positif yaitu bahwa mereka akan dapat kembali pulih seperti sediakala, ternyata lebih sedikit yang mengalami kematian dalam kurun waktu 15 tahun yaitu selama penelitian dilakukan, serta pada tahun pertama dari kepulihan mereka keadaan fungsi fisik mereka ternyata jauh lebih baik dari yang tidak memiliki keyakinan positip.
Jika pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya para peneliti telah berhasil menemukan kenyataan bahwa para penderita penyakit jantung koroner yang memiliki harapan yang optimis secara positip telah dapat mempengaruhi status fungsional jantung mereka, hingga dapat kembali melakukan aktifitas kehidupan normal mereka masing-masing
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan kali ini, hasil yang diperoleh telah jauh lebih menunjukan besarnya pengaruh keyakinan terhadap kesehatan bahkan mampu menyelamatkan dari kematian dalam jangka waktu yang cukup lama, seperti yang dipublikasikan oleh Archives of Internal Medicine.
Para peneliti dari Duke University Medical Center tersebut, dalam penelitian ini telah melibatkan 2.818 orang penderita penyakit jantung koroner, untuk diteliti mengenai sejauh mana harapan yang dimiliki oleh seorang pasien akan dapat mempengaruhi proses pemulihan diri mereka dan meningkatkan kemampuan mereka untuk dapat melakukan kegiatan fisik yang normal.
Untuk hal ini, para pasien yang dilibatkan terlebih dahulu diminta untuk mengisi kuesioner yang ditujukan untuk mengetahui sikap yang mereka miliki terhadap apa yang sedang mereka saat itu, seperti halnya "pengaruh keadaan kondisi jantung saya saat ini hanya akan memiliki pengaruh yang sangat kecil atau sama sekali tidak akan mempengaruhi kemampuan saya dalam melakukan pekerjaan sehari-hari saya," atau "Saya kira kondisi jantung saya akan membatasi kemampuan saya dalam beraktifitas” dan keyakinan akan masa depan mereka seperti halnya "Saya yakin sepenuhnya bahwa saya masih bisa hidup lebih lama lagi dan sehat kembali " atau " Saya tidak yakin bahwa saya akan dapat pulih sepenuhnya dengan keadaan jantung saya yang seperti ini ".
Dalam hal ini, John C. Barefoot, PhD, beserta timnya juga secara khusus telah memperhitungkan pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor keparahan penyakit, riwayat kesehatan yang mereka miliki masing-masing, gejala depresi yang saat itu dimiliki, dukungan sosial yang mereka terima, usia, jenis kelamin, pendidikan serta penghasilan mereka kedalam penelitian ini.
Terlepas dari adanya faktor-faktor diatas, pada kenyataannya tingkat kematian yang dialami oleh para pasien yang memiliki faktor harapan yang tinggi hanya mencapai 31,8 kematian per 100 orang pasien, sedangkan kematian yang dialami oleh para pasien yang memiliki faktor harapan rendah ternyata yang dicapai mereka adalah 46,2 kematian per 100 orang pasien.
Dengan demikian, maka ternyata para pasien yang memiliki harapan serta perasaan optimis untuk dapat segera pulih kembali mampu merubah kondisi fisik mereka hingga menurunkan kemungkinan mengalami kematian akibat penyakit mereka hingga 17% selama masa studi dilakukan, yaitu 15 tahun.
Barefoot mengatakan bahwa : "Memang kami sebelumnya telah mengetahui tentang adanya hubungan antara depresi yang dialami dengan peningkatan angka kematian. Akan tetapi, dalam penelitian yang kami lakukan ini kami telah berhasil menunjukkan tentang betapa besarnya dampak dari sebuah harapan terhadap proses pemulihan diri seorang pasien, karena dirinya mampu mengatasi masalah-masalah yang menyebabkan depresi maupun faktor-faktor psikologis dan sosial lainnya."
Menurut Barefoot dan rekan-rekannya, terdapat dua kemungkinan dalam hal ini. Yang pertama adalah kelompok yang merasa optimis cenderung menjadkan dirinya rajin untuk mengikuti arahan yang diberikan selama mereka menjalani terapi tanpa merasa bosan atau terjebak menggeluti emosi, hingga memiliki dampak yang positip bagi proses penyembuhan mereka.
Sedang kelompok yang memiliki tanggapan negatif cenderung menjadikan dirinya diliputi stres dan ketegangan, hingga merusak tubuh serta meningkatkan risiko pada diri mereka untuk kembali mengalami serangan jantungi.
Dialihbahasa dan disarikan oleh WS Djaka Panungkas dari tulisan Courtney Ware dalam WebMD Health News 28 Februari 2011
Dampak Asupan Vitamin Dan Mineral Yang Berlebihan Terhadap Kesehatan.
/* Pada saat-saat ini, jika kita perhatikan dari mulai air minum hingga berbagai juice yang dikemas ternyata hampir semuanya menyatakan bahwa mereka diperkaya dengan vitamin-vitamin atau mineral-mineral tertentu didalamnya.
Hal tersebut, sekilas tentunya sekilas akan tampak sebagai upaya para produsen yang dilakukan untuk dapat membantu kita dalam menutupi kekurangan yang mungkin terjadi.
Tetapi, apakah tidak akan membahayakan diri kita jika kemudian asupan dari nutrisi-nutrisi penting tersebut menjadi sangat berlebihan ?
Karena seperti halnya bila kita selalu secara rutin mengonsumsi jenis nutrisi tertentu dalam dosis yang tinggi seperti misalnya kita rutin mengonsumsi vitamin C atau Zinc dalam dosis yang tinggi, maka mungkin dampak mual, diare, dan kram perut akan kita alami.
Sedangkan terlalu banyak mengonsumsi selenium dapat menyebabkan kerontokan rambut, mengalami gangguan-gangguan pencernaan, merasa lesu dan mengalami kerusakan saraf ringan.
Walau mungkin kita tidak pernah merasa mengonsumsi vitamin atau mineral tertentu yang berdosis tinggi karena jenis suplemen vitamin atau mineral yang kita konsumsi pada saat itu hanyalah berbentuk suplemen yang hanya berkandungan vitamin serta mineral yang ber-dosis sebatas kebutuhan minimal harian akan nutrisi tersebut saja (MDR), akan tetapi jika kita selain mengonsumsi suplemen tersebut juga mengonsumsi makanan-makanan atau minuman-minuman yang memiliki kandungan yang telah diperkaya isinya dengan berbagai vitamin atau mineral tertentu, maka tanpa kita sadari dapat saja asupan vitamin serta mineral kitapun akan menjadi sangat berlebihan juga.
Padahal, pada kenyataannya mengonsumsi vitamin atau mineral berlebihan tidak akan menjadikan kita jauh lebih baik dan bahkan kita sedapat mungkin harus bisa menghindarinya.
Sebagai contoh, Johanna Dwyer, DSc, RD, seorang senior research scientist pada the National Institutes of Health's Office of Dietary Supplements mengatakan bahwa dengan mengonsumsi hati beruang kutub atau bahkan mengonsumsi daging biasa saecara berlebihanpun akan dapat menyebabkan kita menjadi mengonsumsi vitamin A secara berlebihan juga, yang dampaknya akan dapat menyebabkan kita sering merasakan mual, penglihatan menjadi kabur dan sering menderita sakit kepala.
Hingga menurutnya, jika kita berniat untuk mengkonsumsi suatu suplemen, sebaiknya pilihlah yang dosis-nya hanya sebatas kebutuhan harian minimum saja (MDR) saja.
Dan akan menjadi lebih baik lagi, jika kita selalu mengkonsultasikannya terlebih dahulu dengan dokter sebelum mengkonsumsi suatu suplemen termasuk vitamin maupun mineral, karena dengan demikian dokter tersebut akan berusaha memilihkan jenisnya yang aman bagi kita.
Dwyer mengatakan bahwa vitamin D, kalsium, dan asam folat merupakan tiga nutrisi yang pada saat ini dengan mudah dapat menjadi berlebihan kita konsumsi melalui kombinasi asupan makanan dan suplemen.
Orang dewasa yang secara teratur mengonsumsi vitamin D hingga jauh melebihi 4.000 unit internasional (IU) yang merupakan batas asupan harian vitamin D yang aman, akan menyebabkannya menderita batu ginjal sama halnya dengan jika mereka mengonsumsi calsium berlebihan, yang batas amannya hanya 2,000-2,500 mg perhari.
Pengayaan Asam folat atau Folic Acid kedalam tepung, pasta, beras, roti, dan sereal dengan tujuan untuk membantu mencegah cacat lahir pada bayi yang diakibatkan oleh kekurangan asam folat pada wanita hamil telah berhasil mengurangi jumlah cacat lahir sebesar 25% sampai 50%.
Walau demikian, berlebihan asupan asam folat akan menyembunyikan tanda-tanda adanya kekurangan vitamin B12 pada orang dewasa yang kadang-kadang dapat menyebabkan kerusakan saraf permanen jika tidak segera diobati.Apa lagi, beberapa studi terbaru telah mengisyaratkan akan adanya keterkaitan antaraasupan asam folat yang berlebihan dengan meningkatnya risiko terkena kanker paru-paru dan prostat.
Padahal, pada saat ini asam folat dengan mudah dapat kita peroleh pada makanan hingga tidak harus tergantung pada penggunaan suplemen, kata Dwyer.
Bahkan, menurutnya "Seseorang tidak akan sampai harus menghadapi masalah karena berlebihan asupan vitamin atau mineral, jika mereka membiasakan diri mengonsumsi makanan yang benar-benar baik serta sehat.”
Disarikan dan dialihbahasakan dari tulisan Cari Nierenberg yang dikaji ulang oleh Laura Martin J., MD oleh WS Djaka Panungkas Pada saat-saat ini, jika kita perhatikan dari mulai air minum hingga berbagai juice yang dikemas ternyata hampir semuanya menyatakan bahwa mereka diperkaya dengan vitamin-vitamin atau mineral-mineral tertentu didalamnya.
Hal tersebut, sekilas tentunya sekilas akan tampak sebagai upaya para produsen yang dilakukan untuk dapat membantu kita dalam menutupi kekurangan yang mungkin terjadi.
Tetapi, apakah tidak akan membahayakan diri kita jika kemudian asupan dari nutrisi-nutrisi penting tersebut menjadi sangat berlebihan ?
Karena seperti halnya bila kita selalu secara rutin mengonsumsi jenis nutrisi tertentu dalam dosis yang tinggi seperti misalnya kita rutin mengonsumsi vitamin C atau Zinc dalam dosis yang tinggi, maka mungkin dampak mual, diare, dan kram perut akan kita alami.
Sedangkan terlalu banyak mengonsumsi selenium dapat menyebabkan kerontokan rambut, mengalami gangguan-gangguan pencernaan, merasa lesu dan mengalami kerusakan saraf ringan.
Walau mungkin kita tidak pernah merasa mengonsumsi vitamin atau mineral tertentu yang berdosis tinggi karena jenis suplemen vitamin atau mineral yang kita konsumsi pada saat itu hanyalah berbentuk suplemen yang hanya berkandungan vitamin serta mineral yang ber-dosis sebatas kebutuhan minimal harian akan nutrisi tersebut saja (MDR), akan tetapi jika kita selain mengonsumsi suplemen tersebut juga mengonsumsi makanan-makanan atau minuman-minuman yang memiliki kandungan yang telah diperkaya isinya dengan berbagai vitamin atau mineral tertentu, maka tanpa kita sadari dapat saja asupan vitamin serta mineral kitapun akan menjadi sangat berlebihan juga.
Padahal, pada kenyataannya mengonsumsi vitamin atau mineral berlebihan tidak akan menjadikan kita jauh lebih baik dan bahkan kita sedapat mungkin harus bisa menghindarinya.
Sebagai contoh, Johanna Dwyer, DSc, RD, seorang senior research scientist pada the National Institutes of Health's Office of Dietary Supplements mengatakan bahwa dengan mengonsumsi hati beruang kutub atau bahkan mengonsumsi daging biasa saecara berlebihanpun akan dapat menyebabkan kita menjadi mengonsumsi vitamin A secara berlebihan juga, yang dampaknya akan dapat menyebabkan kita sering merasakan mual, penglihatan menjadi kabur dan sering menderita sakit kepala.
Hingga menurutnya, jika kita berniat untuk mengkonsumsi suatu suplemen, sebaiknya pilihlah yang dosis-nya hanya sebatas kebutuhan harian minimum saja (MDR) saja.
Dan akan menjadi lebih baik lagi, jika kita selalu mengkonsultasikannya terlebih dahulu dengan dokter sebelum mengkonsumsi suatu suplemen termasuk vitamin maupun mineral, karena dengan demikian dokter tersebut akan berusaha memilihkan jenisnya yang aman bagi kita.
Dwyer mengatakan bahwa vitamin D, kalsium, dan asam folat merupakan tiga nutrisi yang pada saat ini dengan mudah dapat menjadi berlebihan kita konsumsi melalui kombinasi asupan makanan dan suplemen.
Orang dewasa yang secara teratur mengonsumsi vitamin D hingga jauh melebihi 4.000 unit internasional (IU) yang merupakan batas asupan harian vitamin D yang aman, akan menyebabkannya menderita batu ginjal sama halnya dengan jika mereka mengonsumsi calsium berlebihan, yang batas amannya hanya 2,000-2,500 mg perhari.
Pengayaan Asam folat atau Folic Acid kedalam tepung, pasta, beras, roti, dan sereal dengan tujuan untuk membantu mencegah cacat lahir pada bayi yang diakibatkan oleh kekurangan asam folat pada wanita hamil telah berhasil mengurangi jumlah cacat lahir sebesar 25% sampai 50%.
Walau demikian, berlebihan asupan asam folat akan menyembunyikan tanda-tanda adanya kekurangan vitamin B12 pada orang dewasa yang kadang-kadang dapat menyebabkan kerusakan saraf permanen jika tidak segera diobati.Apa lagi, beberapa studi terbaru telah mengisyaratkan akan adanya keterkaitan antaraasupan asam folat yang berlebihan dengan meningkatnya risiko terkena kanker paru-paru dan prostat.
Padahal, pada saat ini asam folat dengan mudah dapat kita peroleh pada makanan hingga tidak harus tergantung pada penggunaan suplemen, kata Dwyer.
Bahkan, menurutnya "Seseorang tidak akan sampai harus menghadapi masalah karena berlebihan asupan vitamin atau mineral, jika mereka membiasakan diri mengonsumsi makanan yang benar-benar baik serta sehat.”
Disarikan dan dialihbahasakan dari tulisan Cari Nierenberg yang dikaji ulang oleh Laura Martin J., MD oleh WS Djaka Panungkas
Hal tersebut, sekilas tentunya sekilas akan tampak sebagai upaya para produsen yang dilakukan untuk dapat membantu kita dalam menutupi kekurangan yang mungkin terjadi.
Tetapi, apakah tidak akan membahayakan diri kita jika kemudian asupan dari nutrisi-nutrisi penting tersebut menjadi sangat berlebihan ?
Karena seperti halnya bila kita selalu secara rutin mengonsumsi jenis nutrisi tertentu dalam dosis yang tinggi seperti misalnya kita rutin mengonsumsi vitamin C atau Zinc dalam dosis yang tinggi, maka mungkin dampak mual, diare, dan kram perut akan kita alami.
Sedangkan terlalu banyak mengonsumsi selenium dapat menyebabkan kerontokan rambut, mengalami gangguan-gangguan pencernaan, merasa lesu dan mengalami kerusakan saraf ringan.
Walau mungkin kita tidak pernah merasa mengonsumsi vitamin atau mineral tertentu yang berdosis tinggi karena jenis suplemen vitamin atau mineral yang kita konsumsi pada saat itu hanyalah berbentuk suplemen yang hanya berkandungan vitamin serta mineral yang ber-dosis sebatas kebutuhan minimal harian akan nutrisi tersebut saja (MDR), akan tetapi jika kita selain mengonsumsi suplemen tersebut juga mengonsumsi makanan-makanan atau minuman-minuman yang memiliki kandungan yang telah diperkaya isinya dengan berbagai vitamin atau mineral tertentu, maka tanpa kita sadari dapat saja asupan vitamin serta mineral kitapun akan menjadi sangat berlebihan juga.
Padahal, pada kenyataannya mengonsumsi vitamin atau mineral berlebihan tidak akan menjadikan kita jauh lebih baik dan bahkan kita sedapat mungkin harus bisa menghindarinya.
Sebagai contoh, Johanna Dwyer, DSc, RD, seorang senior research scientist pada the National Institutes of Health's Office of Dietary Supplements mengatakan bahwa dengan mengonsumsi hati beruang kutub atau bahkan mengonsumsi daging biasa saecara berlebihanpun akan dapat menyebabkan kita menjadi mengonsumsi vitamin A secara berlebihan juga, yang dampaknya akan dapat menyebabkan kita sering merasakan mual, penglihatan menjadi kabur dan sering menderita sakit kepala.
Hingga menurutnya, jika kita berniat untuk mengkonsumsi suatu suplemen, sebaiknya pilihlah yang dosis-nya hanya sebatas kebutuhan harian minimum saja (MDR) saja.
Dan akan menjadi lebih baik lagi, jika kita selalu mengkonsultasikannya terlebih dahulu dengan dokter sebelum mengkonsumsi suatu suplemen termasuk vitamin maupun mineral, karena dengan demikian dokter tersebut akan berusaha memilihkan jenisnya yang aman bagi kita.
Dwyer mengatakan bahwa vitamin D, kalsium, dan asam folat merupakan tiga nutrisi yang pada saat ini dengan mudah dapat menjadi berlebihan kita konsumsi melalui kombinasi asupan makanan dan suplemen.
Orang dewasa yang secara teratur mengonsumsi vitamin D hingga jauh melebihi 4.000 unit internasional (IU) yang merupakan batas asupan harian vitamin D yang aman, akan menyebabkannya menderita batu ginjal sama halnya dengan jika mereka mengonsumsi calsium berlebihan, yang batas amannya hanya 2,000-2,500 mg perhari.
Pengayaan Asam folat atau Folic Acid kedalam tepung, pasta, beras, roti, dan sereal dengan tujuan untuk membantu mencegah cacat lahir pada bayi yang diakibatkan oleh kekurangan asam folat pada wanita hamil telah berhasil mengurangi jumlah cacat lahir sebesar 25% sampai 50%.
Walau demikian, berlebihan asupan asam folat akan menyembunyikan tanda-tanda adanya kekurangan vitamin B12 pada orang dewasa yang kadang-kadang dapat menyebabkan kerusakan saraf permanen jika tidak segera diobati.Apa lagi, beberapa studi terbaru telah mengisyaratkan akan adanya keterkaitan antaraasupan asam folat yang berlebihan dengan meningkatnya risiko terkena kanker paru-paru dan prostat.
Padahal, pada saat ini asam folat dengan mudah dapat kita peroleh pada makanan hingga tidak harus tergantung pada penggunaan suplemen, kata Dwyer.
Bahkan, menurutnya "Seseorang tidak akan sampai harus menghadapi masalah karena berlebihan asupan vitamin atau mineral, jika mereka membiasakan diri mengonsumsi makanan yang benar-benar baik serta sehat.”
Disarikan dan dialihbahasakan dari tulisan Cari Nierenberg yang dikaji ulang oleh Laura Martin J., MD oleh WS Djaka Panungkas Pada saat-saat ini, jika kita perhatikan dari mulai air minum hingga berbagai juice yang dikemas ternyata hampir semuanya menyatakan bahwa mereka diperkaya dengan vitamin-vitamin atau mineral-mineral tertentu didalamnya.
Hal tersebut, sekilas tentunya sekilas akan tampak sebagai upaya para produsen yang dilakukan untuk dapat membantu kita dalam menutupi kekurangan yang mungkin terjadi.
Tetapi, apakah tidak akan membahayakan diri kita jika kemudian asupan dari nutrisi-nutrisi penting tersebut menjadi sangat berlebihan ?
Karena seperti halnya bila kita selalu secara rutin mengonsumsi jenis nutrisi tertentu dalam dosis yang tinggi seperti misalnya kita rutin mengonsumsi vitamin C atau Zinc dalam dosis yang tinggi, maka mungkin dampak mual, diare, dan kram perut akan kita alami.
Sedangkan terlalu banyak mengonsumsi selenium dapat menyebabkan kerontokan rambut, mengalami gangguan-gangguan pencernaan, merasa lesu dan mengalami kerusakan saraf ringan.
Walau mungkin kita tidak pernah merasa mengonsumsi vitamin atau mineral tertentu yang berdosis tinggi karena jenis suplemen vitamin atau mineral yang kita konsumsi pada saat itu hanyalah berbentuk suplemen yang hanya berkandungan vitamin serta mineral yang ber-dosis sebatas kebutuhan minimal harian akan nutrisi tersebut saja (MDR), akan tetapi jika kita selain mengonsumsi suplemen tersebut juga mengonsumsi makanan-makanan atau minuman-minuman yang memiliki kandungan yang telah diperkaya isinya dengan berbagai vitamin atau mineral tertentu, maka tanpa kita sadari dapat saja asupan vitamin serta mineral kitapun akan menjadi sangat berlebihan juga.
Padahal, pada kenyataannya mengonsumsi vitamin atau mineral berlebihan tidak akan menjadikan kita jauh lebih baik dan bahkan kita sedapat mungkin harus bisa menghindarinya.
Sebagai contoh, Johanna Dwyer, DSc, RD, seorang senior research scientist pada the National Institutes of Health's Office of Dietary Supplements mengatakan bahwa dengan mengonsumsi hati beruang kutub atau bahkan mengonsumsi daging biasa saecara berlebihanpun akan dapat menyebabkan kita menjadi mengonsumsi vitamin A secara berlebihan juga, yang dampaknya akan dapat menyebabkan kita sering merasakan mual, penglihatan menjadi kabur dan sering menderita sakit kepala.
Hingga menurutnya, jika kita berniat untuk mengkonsumsi suatu suplemen, sebaiknya pilihlah yang dosis-nya hanya sebatas kebutuhan harian minimum saja (MDR) saja.
Dan akan menjadi lebih baik lagi, jika kita selalu mengkonsultasikannya terlebih dahulu dengan dokter sebelum mengkonsumsi suatu suplemen termasuk vitamin maupun mineral, karena dengan demikian dokter tersebut akan berusaha memilihkan jenisnya yang aman bagi kita.
Dwyer mengatakan bahwa vitamin D, kalsium, dan asam folat merupakan tiga nutrisi yang pada saat ini dengan mudah dapat menjadi berlebihan kita konsumsi melalui kombinasi asupan makanan dan suplemen.
Orang dewasa yang secara teratur mengonsumsi vitamin D hingga jauh melebihi 4.000 unit internasional (IU) yang merupakan batas asupan harian vitamin D yang aman, akan menyebabkannya menderita batu ginjal sama halnya dengan jika mereka mengonsumsi calsium berlebihan, yang batas amannya hanya 2,000-2,500 mg perhari.
Pengayaan Asam folat atau Folic Acid kedalam tepung, pasta, beras, roti, dan sereal dengan tujuan untuk membantu mencegah cacat lahir pada bayi yang diakibatkan oleh kekurangan asam folat pada wanita hamil telah berhasil mengurangi jumlah cacat lahir sebesar 25% sampai 50%.
Walau demikian, berlebihan asupan asam folat akan menyembunyikan tanda-tanda adanya kekurangan vitamin B12 pada orang dewasa yang kadang-kadang dapat menyebabkan kerusakan saraf permanen jika tidak segera diobati.Apa lagi, beberapa studi terbaru telah mengisyaratkan akan adanya keterkaitan antaraasupan asam folat yang berlebihan dengan meningkatnya risiko terkena kanker paru-paru dan prostat.
Padahal, pada saat ini asam folat dengan mudah dapat kita peroleh pada makanan hingga tidak harus tergantung pada penggunaan suplemen, kata Dwyer.
Bahkan, menurutnya "Seseorang tidak akan sampai harus menghadapi masalah karena berlebihan asupan vitamin atau mineral, jika mereka membiasakan diri mengonsumsi makanan yang benar-benar baik serta sehat.”
Disarikan dan dialihbahasakan dari tulisan Cari Nierenberg yang dikaji ulang oleh Laura Martin J., MD oleh WS Djaka Panungkas
Rabu, 02 Maret 2011
Masalah Kandungan Yang Menyebabkan Kanker Pada Makanan Berkarbohidrat
/* Sebuah restoran KFC di California telah membuat poster pada dindingnya yang mungkin dapat membatalkan niat kita untuk makan disitu atau setidaknya mengurungkan niat memakan kentang gorengnya, karena disitu tertulis “Kentang yang dimasak hingga menjadi kecoklatan seperti halnya dengan kentang yang digoreng, dipanggang atau dibuat keripik kentang, pasti akan mengandung akrilamida yang di negara bagian California dikenal sebagai senyawa kimia yang dapat menyebabkan kanker."
Berita menggemparkan mengenai akrilamida ini, pertama kali muncul pada tahun 2002 saat para peneliti Swedia mendeteksi tentang keberadaannya didalam berbagai jenis makanan serta minuman, seperti halnya dengan pada kentang goreng, roti, sereal dan kopi.
Sejak saat itu, peringatan-pun segera disebar luaskan, karena akrilamida merupakan senyawa kimia karsinogen atau penimbul kanker pada hewan dan masalah neurologis pada manusia.
Akrilamida sebenarnya merupakan suatu senyawa kimia yang secara alami akan terbentuk didalam setiap proses pembuatan makanan tertentu, namun keberadaannya baru diketahui dan disadari akhir-akhir ini.
Pada tahun 1912 seorang ahli kimia Prancis Louis Camille Maillard sebenarnya telah menemukannya saat beliau memanaskan asam amino. Namun,pada saat itu hanya terbatas pada dikenal sebagai senyawa kimia yang menimbulkan aroma sedap dan merubah warna pada beberapa makanan seperti halnya dengan yang terjadi pada kulit roti, pretzel, kopi panggang, popcorn, bawang bakar serta kentang goreng, dan merupakan hasil reaksi antara berbagai bentuk gula dengan asam amino.
Setiap akrilamida yang masuk kedalam sistim pencernaan, secara alami akan dianggap tubuh sebagai benda asing yang harus disingkirkan. Sehingga sistim penawar racun akan bekerja menyingkirkannya keluar ari tubuh melalui ginjal, dengan terlebih dahulu mengubahnya menjadi berbentuk glycidamide yang dapat larut dalam urine (air kencing).
Masalahnya adalah karena baik akrilamida maupun glycidamide keduanya merupakan bentuk-bentuk molekul yang sangat reaktif hingga dapat merusak biomolekul penting seperti halnya dengan protein serta asam nukleat. Selain itu, Glycidamide sendiri merupakan karsinogen terhadap sistim reproduksi.
Dalam menebabkan kanker pada hewan, akrilamida sudah tidak diragukan lagi. Akan tetapi, pada manusia belum ditemukan ada bukti-bukti yang menunjang. Karena, dosis yang telah menyebabkan kanker pada hewan ternyata sedikitnya seribu kali lipat lebih dari jumlah akrilamida yang bisa terdapat pada sumber-sumber makanan kita.
Walau demikian, dosis-dosis kecil pada makanan manusia yang tertimbun akan dapat mencapai dosis yang besar hingga menyamai yang telah membahayakan hewan, hingga kemungkinannya tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
Itulah sebabnya, sejak deteksi keberadaannya pada makanan tertentu terungkap kembali pada tahun 2002, sejumlah besar penelitian-pun dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan bahaya yang dapat ditimbulkannya.
Hingga banyak penelitian-penelitianpun dilakukan untuk menyelidiki kemungkinan adanya hubungan antara keberadaan akrilamida pada makanan yang dikonsumsi dengan berbagai berbagai masalah kanker yang terjadi.
Namun dalam hal ini belum ditemukan data-data yang menunjukan tentang adanya hubungan antara akrilamida yang pada makanan dengan kanker yang terjadi pada manusia.
Bahkan kopi yang menyumbangkan separuh asupan akrilamida, belum pernah ditemukan kaitannya dengan timbulnya berbagai macam kanker pada peminumnya.
Walau demikian, karena akrilamida telah resmi dinyatakan sebagai karsinogen bagi hewan,Dinas Kesehatan di Kanada dalam hal ini telah menambahkannya kedalam daftar zat-zat beracun sekaligus mendesak pihak industri makanan mereka untuk mengurangi atau menghindari adanya kandungan zat kimia tersebut pada hasil-hasil produksi mereka.
Berbagai metodologi untuk menghindarinyapun telah dikembangkan, termasuk dengan melakukan pemanggangan atau penggorengan dengan suhu lebih rendah dari 120 derajat celcius dan mengurangi kadar gula maupun asparagin kedalam bahan makanan yang rentan membentuk akrilamida. Cara lain yang juga dilakukan, adalah dengan menambahkan asparaginase, yaitu suatu enzim yang diisolasi dari strain Aspergillus oryzae yang umum dipergunakan untuk mem-fermentasi kedelai dalam proses pembuatan kecap saat pembuatannya.
Selain itu, untuk dapat mengurangi kandungan akrilamida pada makanan adalah saat memasak atau memanggang makanan yang mengandung karbohidrat, lakukan hanya sampai mereka berwarna keemasan saja. Jadi, jangan sampai membiarkan mereka menjadi berwarna coklat gelap seperti halnya saat membuat keripik atau kentang goreng.
Disarikan dan dialihbahasakan dari tulisan Dr. Joe Schwarcz pada rubrik Chemically Speaking dalam blog The Chemical Institute Of Canada’s oleh WS Djaka Panungkas Alibassa Sebuah restoran KFC di California telah membuat poster pada dindingnya yang mungkin dapat membatalkan niat kita untuk makan disitu atau setidaknya mengurungkan niat memakan kentang gorengnya, karena disitu tertulis “Kentang yang dimasak hingga menjadi kecoklatan seperti halnya dengan kentang yang digoreng, dipanggang atau dibuat keripik kentang, pasti akan mengandung akrilamida yang di negara bagian California dikenal sebagai senyawa kimia yang dapat menyebabkan kanker."
Berita menggemparkan mengenai akrilamida ini, pertama kali muncul pada tahun 2002 saat para peneliti Swedia mendeteksi tentang keberadaannya didalam berbagai jenis makanan serta minuman, seperti halnya dengan pada kentang goreng, roti, sereal dan kopi.
Sejak saat itu, peringatan-pun segera disebar luaskan, karena akrilamida merupakan senyawa kimia karsinogen atau penimbul kanker pada hewan dan masalah neurologis pada manusia.
Akrilamida sebenarnya merupakan suatu senyawa kimia yang secara alami akan terbentuk didalam setiap proses pembuatan makanan tertentu, namun keberadaannya baru diketahui dan disadari akhir-akhir ini.
Pada tahun 1912 seorang ahli kimia Prancis Louis Camille Maillard sebenarnya telah menemukannya saat beliau memanaskan asam amino. Namun,pada saat itu hanya terbatas pada dikenal sebagai senyawa kimia yang menimbulkan aroma sedap dan merubah warna pada beberapa makanan seperti halnya dengan yang terjadi pada kulit roti, pretzel, kopi panggang, popcorn, bawang bakar serta kentang goreng, dan merupakan hasil reaksi antara berbagai bentuk gula dengan asam amino.
Setiap akrilamida yang masuk kedalam sistim pencernaan, secara alami akan dianggap tubuh sebagai benda asing yang harus disingkirkan. Sehingga sistim penawar racun akan bekerja menyingkirkannya keluar ari tubuh melalui ginjal, dengan terlebih dahulu mengubahnya menjadi berbentuk glycidamide yang dapat larut dalam urine (air kencing).
Masalahnya adalah karena baik akrilamida maupun glycidamide keduanya merupakan bentuk-bentuk molekul yang sangat reaktif hingga dapat merusak biomolekul penting seperti halnya dengan protein serta asam nukleat. Selain itu, Glycidamide sendiri merupakan karsinogen terhadap sistim reproduksi.
Dalam menebabkan kanker pada hewan, akrilamida sudah tidak diragukan lagi. Akan tetapi, pada manusia belum ditemukan ada bukti-bukti yang menunjang. Karena, dosis yang telah menyebabkan kanker pada hewan ternyata sedikitnya seribu kali lipat lebih dari jumlah akrilamida yang bisa terdapat pada sumber-sumber makanan kita.
Walau demikian, dosis-dosis kecil pada makanan manusia yang tertimbun akan dapat mencapai dosis yang besar hingga menyamai yang telah membahayakan hewan, hingga kemungkinannya tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
Itulah sebabnya, sejak deteksi keberadaannya pada makanan tertentu terungkap kembali pada tahun 2002, sejumlah besar penelitian-pun dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan bahaya yang dapat ditimbulkannya.
Hingga banyak penelitian-penelitianpun dilakukan untuk menyelidiki kemungkinan adanya hubungan antara keberadaan akrilamida pada makanan yang dikonsumsi dengan berbagai berbagai masalah kanker yang terjadi.
Namun dalam hal ini belum ditemukan data-data yang menunjukan tentang adanya hubungan antara akrilamida yang pada makanan dengan kanker yang terjadi pada manusia.
Bahkan kopi yang menyumbangkan separuh asupan akrilamida, belum pernah ditemukan kaitannya dengan timbulnya berbagai macam kanker pada peminumnya.
Walau demikian, karena akrilamida telah resmi dinyatakan sebagai karsinogen bagi hewan,Dinas Kesehatan di Kanada dalam hal ini telah menambahkannya kedalam daftar zat-zat beracun sekaligus mendesak pihak industri makanan mereka untuk mengurangi atau menghindari adanya kandungan zat kimia tersebut pada hasil-hasil produksi mereka.
Berbagai metodologi untuk menghindarinyapun telah dikembangkan, termasuk dengan melakukan pemanggangan atau penggorengan dengan suhu lebih rendah dari 120 derajat celcius dan mengurangi kadar gula maupun asparagin kedalam bahan makanan yang rentan membentuk akrilamida. Cara lain yang juga dilakukan, adalah dengan menambahkan asparaginase, yaitu suatu enzim yang diisolasi dari strain Aspergillus oryzae yang umum dipergunakan untuk mem-fermentasi kedelai dalam proses pembuatan kecap saat pembuatannya.
Selain itu, untuk dapat mengurangi kandungan akrilamida pada makanan adalah saat memasak atau memanggang makanan yang mengandung karbohidrat, lakukan hanya sampai mereka berwarna keemasan saja. Jadi, jangan sampai membiarkan mereka menjadi berwarna coklat gelap seperti halnya saat membuat keripik atau kentang goreng.
Disarikan dan dialihbahasakan dari tulisan Dr. Joe Schwarcz pada rubrik Chemically Speaking dalam blog The Chemical Institute Of Canada’s oleh WS Djaka Panungkas Alibassa
Berita menggemparkan mengenai akrilamida ini, pertama kali muncul pada tahun 2002 saat para peneliti Swedia mendeteksi tentang keberadaannya didalam berbagai jenis makanan serta minuman, seperti halnya dengan pada kentang goreng, roti, sereal dan kopi.
Sejak saat itu, peringatan-pun segera disebar luaskan, karena akrilamida merupakan senyawa kimia karsinogen atau penimbul kanker pada hewan dan masalah neurologis pada manusia.
Akrilamida sebenarnya merupakan suatu senyawa kimia yang secara alami akan terbentuk didalam setiap proses pembuatan makanan tertentu, namun keberadaannya baru diketahui dan disadari akhir-akhir ini.
Pada tahun 1912 seorang ahli kimia Prancis Louis Camille Maillard sebenarnya telah menemukannya saat beliau memanaskan asam amino. Namun,pada saat itu hanya terbatas pada dikenal sebagai senyawa kimia yang menimbulkan aroma sedap dan merubah warna pada beberapa makanan seperti halnya dengan yang terjadi pada kulit roti, pretzel, kopi panggang, popcorn, bawang bakar serta kentang goreng, dan merupakan hasil reaksi antara berbagai bentuk gula dengan asam amino.
Setiap akrilamida yang masuk kedalam sistim pencernaan, secara alami akan dianggap tubuh sebagai benda asing yang harus disingkirkan. Sehingga sistim penawar racun akan bekerja menyingkirkannya keluar ari tubuh melalui ginjal, dengan terlebih dahulu mengubahnya menjadi berbentuk glycidamide yang dapat larut dalam urine (air kencing).
Masalahnya adalah karena baik akrilamida maupun glycidamide keduanya merupakan bentuk-bentuk molekul yang sangat reaktif hingga dapat merusak biomolekul penting seperti halnya dengan protein serta asam nukleat. Selain itu, Glycidamide sendiri merupakan karsinogen terhadap sistim reproduksi.
Dalam menebabkan kanker pada hewan, akrilamida sudah tidak diragukan lagi. Akan tetapi, pada manusia belum ditemukan ada bukti-bukti yang menunjang. Karena, dosis yang telah menyebabkan kanker pada hewan ternyata sedikitnya seribu kali lipat lebih dari jumlah akrilamida yang bisa terdapat pada sumber-sumber makanan kita.
Walau demikian, dosis-dosis kecil pada makanan manusia yang tertimbun akan dapat mencapai dosis yang besar hingga menyamai yang telah membahayakan hewan, hingga kemungkinannya tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
Itulah sebabnya, sejak deteksi keberadaannya pada makanan tertentu terungkap kembali pada tahun 2002, sejumlah besar penelitian-pun dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan bahaya yang dapat ditimbulkannya.
Hingga banyak penelitian-penelitianpun dilakukan untuk menyelidiki kemungkinan adanya hubungan antara keberadaan akrilamida pada makanan yang dikonsumsi dengan berbagai berbagai masalah kanker yang terjadi.
Namun dalam hal ini belum ditemukan data-data yang menunjukan tentang adanya hubungan antara akrilamida yang pada makanan dengan kanker yang terjadi pada manusia.
Bahkan kopi yang menyumbangkan separuh asupan akrilamida, belum pernah ditemukan kaitannya dengan timbulnya berbagai macam kanker pada peminumnya.
Walau demikian, karena akrilamida telah resmi dinyatakan sebagai karsinogen bagi hewan,Dinas Kesehatan di Kanada dalam hal ini telah menambahkannya kedalam daftar zat-zat beracun sekaligus mendesak pihak industri makanan mereka untuk mengurangi atau menghindari adanya kandungan zat kimia tersebut pada hasil-hasil produksi mereka.
Berbagai metodologi untuk menghindarinyapun telah dikembangkan, termasuk dengan melakukan pemanggangan atau penggorengan dengan suhu lebih rendah dari 120 derajat celcius dan mengurangi kadar gula maupun asparagin kedalam bahan makanan yang rentan membentuk akrilamida. Cara lain yang juga dilakukan, adalah dengan menambahkan asparaginase, yaitu suatu enzim yang diisolasi dari strain Aspergillus oryzae yang umum dipergunakan untuk mem-fermentasi kedelai dalam proses pembuatan kecap saat pembuatannya.
Selain itu, untuk dapat mengurangi kandungan akrilamida pada makanan adalah saat memasak atau memanggang makanan yang mengandung karbohidrat, lakukan hanya sampai mereka berwarna keemasan saja. Jadi, jangan sampai membiarkan mereka menjadi berwarna coklat gelap seperti halnya saat membuat keripik atau kentang goreng.
Disarikan dan dialihbahasakan dari tulisan Dr. Joe Schwarcz pada rubrik Chemically Speaking dalam blog The Chemical Institute Of Canada’s oleh WS Djaka Panungkas Alibassa Sebuah restoran KFC di California telah membuat poster pada dindingnya yang mungkin dapat membatalkan niat kita untuk makan disitu atau setidaknya mengurungkan niat memakan kentang gorengnya, karena disitu tertulis “Kentang yang dimasak hingga menjadi kecoklatan seperti halnya dengan kentang yang digoreng, dipanggang atau dibuat keripik kentang, pasti akan mengandung akrilamida yang di negara bagian California dikenal sebagai senyawa kimia yang dapat menyebabkan kanker."
Berita menggemparkan mengenai akrilamida ini, pertama kali muncul pada tahun 2002 saat para peneliti Swedia mendeteksi tentang keberadaannya didalam berbagai jenis makanan serta minuman, seperti halnya dengan pada kentang goreng, roti, sereal dan kopi.
Sejak saat itu, peringatan-pun segera disebar luaskan, karena akrilamida merupakan senyawa kimia karsinogen atau penimbul kanker pada hewan dan masalah neurologis pada manusia.
Akrilamida sebenarnya merupakan suatu senyawa kimia yang secara alami akan terbentuk didalam setiap proses pembuatan makanan tertentu, namun keberadaannya baru diketahui dan disadari akhir-akhir ini.
Pada tahun 1912 seorang ahli kimia Prancis Louis Camille Maillard sebenarnya telah menemukannya saat beliau memanaskan asam amino. Namun,pada saat itu hanya terbatas pada dikenal sebagai senyawa kimia yang menimbulkan aroma sedap dan merubah warna pada beberapa makanan seperti halnya dengan yang terjadi pada kulit roti, pretzel, kopi panggang, popcorn, bawang bakar serta kentang goreng, dan merupakan hasil reaksi antara berbagai bentuk gula dengan asam amino.
Setiap akrilamida yang masuk kedalam sistim pencernaan, secara alami akan dianggap tubuh sebagai benda asing yang harus disingkirkan. Sehingga sistim penawar racun akan bekerja menyingkirkannya keluar ari tubuh melalui ginjal, dengan terlebih dahulu mengubahnya menjadi berbentuk glycidamide yang dapat larut dalam urine (air kencing).
Masalahnya adalah karena baik akrilamida maupun glycidamide keduanya merupakan bentuk-bentuk molekul yang sangat reaktif hingga dapat merusak biomolekul penting seperti halnya dengan protein serta asam nukleat. Selain itu, Glycidamide sendiri merupakan karsinogen terhadap sistim reproduksi.
Dalam menebabkan kanker pada hewan, akrilamida sudah tidak diragukan lagi. Akan tetapi, pada manusia belum ditemukan ada bukti-bukti yang menunjang. Karena, dosis yang telah menyebabkan kanker pada hewan ternyata sedikitnya seribu kali lipat lebih dari jumlah akrilamida yang bisa terdapat pada sumber-sumber makanan kita.
Walau demikian, dosis-dosis kecil pada makanan manusia yang tertimbun akan dapat mencapai dosis yang besar hingga menyamai yang telah membahayakan hewan, hingga kemungkinannya tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
Itulah sebabnya, sejak deteksi keberadaannya pada makanan tertentu terungkap kembali pada tahun 2002, sejumlah besar penelitian-pun dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan bahaya yang dapat ditimbulkannya.
Hingga banyak penelitian-penelitianpun dilakukan untuk menyelidiki kemungkinan adanya hubungan antara keberadaan akrilamida pada makanan yang dikonsumsi dengan berbagai berbagai masalah kanker yang terjadi.
Namun dalam hal ini belum ditemukan data-data yang menunjukan tentang adanya hubungan antara akrilamida yang pada makanan dengan kanker yang terjadi pada manusia.
Bahkan kopi yang menyumbangkan separuh asupan akrilamida, belum pernah ditemukan kaitannya dengan timbulnya berbagai macam kanker pada peminumnya.
Walau demikian, karena akrilamida telah resmi dinyatakan sebagai karsinogen bagi hewan,Dinas Kesehatan di Kanada dalam hal ini telah menambahkannya kedalam daftar zat-zat beracun sekaligus mendesak pihak industri makanan mereka untuk mengurangi atau menghindari adanya kandungan zat kimia tersebut pada hasil-hasil produksi mereka.
Berbagai metodologi untuk menghindarinyapun telah dikembangkan, termasuk dengan melakukan pemanggangan atau penggorengan dengan suhu lebih rendah dari 120 derajat celcius dan mengurangi kadar gula maupun asparagin kedalam bahan makanan yang rentan membentuk akrilamida. Cara lain yang juga dilakukan, adalah dengan menambahkan asparaginase, yaitu suatu enzim yang diisolasi dari strain Aspergillus oryzae yang umum dipergunakan untuk mem-fermentasi kedelai dalam proses pembuatan kecap saat pembuatannya.
Selain itu, untuk dapat mengurangi kandungan akrilamida pada makanan adalah saat memasak atau memanggang makanan yang mengandung karbohidrat, lakukan hanya sampai mereka berwarna keemasan saja. Jadi, jangan sampai membiarkan mereka menjadi berwarna coklat gelap seperti halnya saat membuat keripik atau kentang goreng.
Disarikan dan dialihbahasakan dari tulisan Dr. Joe Schwarcz pada rubrik Chemically Speaking dalam blog The Chemical Institute Of Canada’s oleh WS Djaka Panungkas Alibassa
Langganan:
Postingan (Atom)
UNTUK MENCAPAI SERTA MEMPERTAHANKAN SUATU KEPULIHAN
- Sadari sepenuhnya bahwa sebenarnya tubuh Anda memiliki proses-proses alami yang bila dicermati benar-benar, ternyata bahwa proses-proses tersebut memiliki kinerja yang bersifat memelihara, melindungi serta memulihkan dirinya.
- Sadari sepenuhnya akan ke-Maha Pengasihan Tuhan, dengan menyadari bahwa sebagai “Yang Maha Pengasih” walau dengan alasan apapun pasti tidak akan membiarkan yang dikasihi oleh-Nya sampai harus mengalami penderitaan (cobalah cermati kinerja proses-proses tubuh kita tersebut, yang diciptakan-Nya sebagai bukti dari Ke Maha Pengasihan-Nya tersebut, yang menunjukan bahwa Dia tidak menginginkan sampai kita menghadapi masalah, penderitaan maupun penyakit).
- Sadari bahwa setiap masalah atau penyakit sebenarnya merupakan sesuatu yang terjadi jika kita salah didalam berpola pikir serta berpola makan, akibat lebih bertolok ukurkan pada upaya-upaya untuk memuaskan serta menyenangkan diri dari pada bertolok ukurkan pada pola yang dikehendaki-Nya untuk kita lakukan didalam memelihara serta menjaga keutuhan tubuh kita tersebut dengan selalu menerapkan kehendak-Nya didalam setiap gerak langkah yang kita lakukan didalam kehidupan kita sejak saat kita berpikir.
- Upayakan agar jangan menilai berlebihan apapun atau siapapun, tapi usahakanlah untuk dapat selalu menciptakan kehidupan yang bertolok ukurkan pada upaya-upaya untuk menciptakan kehidupan bersama yang saling mengasihi atau saling tidak menciptakan masalah satu sama lain. Jadi, hindari penerapan sikap serta prilaku tolok ukurnya berdasarkan pementingan, pemuasan, serta penyenangan diri, keluarga, golongan, agama dan lain-lainnya.
- Berpeganglah pada suatu prinsip bahwa apapun yang akan kita lakukan harus selain akan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi diri kita, juga harus jangan sampai bisa menimbulkan masalah bagi pihak yang lain.
- Jangan terlalu mempermasalahkan apapun termasuk apa yang diperbuat oleh orang lain. Tetapi, ingatlah selalu bahwa demi dapat menciptakan ketentraman hidup bersama pihak lain, awalilah menciptakannya melalui pengelolaan pola berpikir serta pola bertindak diri kita sendiri.
- Tinggalkan pola makan serta minum yang cenderung didasari oleh keinginan untuk dapat memenuhi selera, rasa menyukai atau karena ingin mengikuti mode agar tidak disebut ketinggalan jaman saja, mengingat bermanfaat atau tidaknya yang tergantung dari dibutuhkan atau tidaknya oleh proses-proses tubuh pada saat itu.
- Jangan sampai berpikir tentang apa yang harus dilakukan oleh orang lain maupun diri kita sendiri agar kita mencapai kepuasan atau kesenangan. Tetapi pikirkanlah apa yang harus kita lakukan agar kita dapat hidup tentram dan damai dengan siapapun.
Sekar Kinasih Healing Therapy
Sistim pemulihan melalui pengelolaan pola berpikir dan pola makan/minum
GRATIS KONSULTASI JARAK JAUH
UNTUK INFORMASI TERAPI JARAK JAUH, SILAHKAN MENGHUBUNGI :
|