/*

Sebuah penelitian yang baru-baru ini dilakukan dan dipublikasikan pada jurnal Science Translational Medicine edisi 16 Februari 2011 yang lalu, telah mrnjumpai suatu kenyataan bahwa harapan yang dimiliki ternyata berpengaruh sangat besar terhadap efektifitas kerja obat pereda nyeri yang saat penelitian tersebut dilakukan, diberikan.
Dalam penelitian yang mereka lakukan tersebut, telah telah berhasil mereka buktikan bahwa perasaan optimis yang dimiliki para relawan yang dilibatkan menjadikan obat yang diberikan secara efektif mampu meredakan rasa nyeri pada diri mereka, sedangkan pada para relawan yang memiliki rasa pesimis justru efektifitasnya dalam meredakan sakit, menurun.
Tidak seperti halnya yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya, kali ini penelitian tersebut secara khusus mempergunakan teknik pencitraan otak untuk memeriksa aktifitas kerja daerah otak yang terkait dengan timbulnya rasa sakit tersebut.
Para ilmuwan tersebut menyatakan bahwa sampai saat itu baru sedikit sekali para peneliti yang melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui mekanisme proses otak hingga setiap bentuk harapan yang berebeda memiliki pengaruh yang berbeda juga pada effektifitas obat yang saat itu diberikan.
Kekuatan Dari Harapan
Didalam hal ini, para peneliti dari German dan Inggris dalam meneliti dampak dari bentuk harapan yaitu baik harapan ang sifatnya positip maupun yang negatip tersebut melalui cara men-scan aktifitas yang terjadi pada otak dari para relawan yang kondisi tubuhnya berada didalam keadaan ang sehat.
Cara yang mereka lakukan, adalah dengan memanfaatkan sumber panas dalam menimbulkan rasa sakit pada para relawan tersebut pada saat otak mereka di-scan dan diberi obat penghilang rasa sakit.
Para peneliti tersebut menuliskan bahwa harapan yang dimiliki ternyata dapat melipat gandakan efektifitas dari obat yang mereka berikan, sedangkan disisi lain kecemasan yang dimiliki nampak sekali justru menurunkan efektifitasnya.
Padahal, obat yang diberikan pada saat itu adalah Ultiva yang merupakan obat penghilang rasa sakit yang diberikan secara Intra Vena dan pada umumnya dipergunakan untuk menghilangkan rasa sakit selama menjalani oprasi.

Dengan hal yang seperti ini, menurut Irene Tracey dari Oxford University Center for Functional Magnetic Resonance Imaging of Thei Brain mengatakan bahwa setiap dokter sebaiknya tidak meremehkan dampak yang akan timbul jika pasien mereka tidak terpicu harapannya oleh cara mereka memperlakukan pasien-pasien tersebut..
Dua puluh dua relawan sehat telah mengambil bagian didalam studi ini. Mereka secara intravena diberi obat penghilang rasa sakit, kaki mereka dipasang alat pemanas dengan suhu 70 derajat untuk mengetahui respon rasa sakit masing-masing, dan dipantau dengan alat MRI.
Tanpa sepengetahuan para relawan, para peneliti tersebut pada saat itu telah memberikan obat penghilang rasa sakit tersebut sebelumnya, untuk mengetahui berapa jauh dampak yang akan ditimbulkannya jika mereka tidak mengetahuinya hingga timbul kecemasan pada diri mereka.
Hasilnya, relawan yang merasakan rasa sakit pada awalnya adalah 66 persen dari mereka, tetapi tidak lama kemudian turun menjadi 55 persennya.
Ketika selanjutnya para relawan tersebut diberi tahu bahwa obat penghilang rasa sakit saat itu tengah mulai diberikan (walau sebenarnya tidak karena sudah dari sebelumnya diberikan), peringkat para relawan yang masih merasakan rasa sakit turun drastis ke angka 39 % dari mereka.
Ketika pada langkah selanjutnya dimana para relawan tersebut dibuat agar berpikir bahwa pemberian obat penghilang rasa sakit tersebut telah dihentikan (padahal tidak) serta bahwa rasa nyeri pasti akan timbul, ternyata bahwa peringkat dari yang merasakan rasa nyeri pada saat itu kembali naik hingga 64 % dari mereka.
Disisi lain, hasil MRI menunjukkan bahwa otak telah merespon adanya rasa nyeri setara dengan harapan yang dimiliki para relawan tersebut.
Hingga menurut Tracey,dengan keadaan seperti ini setiap dokter harus mulai menyadari akan besarnya manfaat peran kekuatan harapan yang dimiliki oleh setiap pasien didalam setiap jenis perawatan yang akan dilakukan.
Dialihbahasa dan disarikan dari tulisan Bill Hendrick dalam WebMD Health News oleh WS Djaka Panungkas
Sebuah penelitian yang baru-baru ini dilakukan dan dipublikasikan pada jurnal Science Translational Medicine edisi 16 Februari 2011 yang lalu, telah mrnjumpai suatu kenyataan bahwa harapan yang dimiliki ternyata berpengaruh sangat besar terhadap efektifitas kerja obat pereda nyeri yang saat penelitian tersebut dilakukan, diberikan.
Dalam penelitian yang mereka lakukan tersebut, telah telah berhasil mereka buktikan bahwa perasaan optimis yang dimiliki para relawan yang dilibatkan menjadikan obat yang diberikan secara efektif mampu meredakan rasa nyeri pada diri mereka, sedangkan pada para relawan yang memiliki rasa pesimis justru efektifitasnya dalam meredakan sakit, menurun.
Tidak seperti halnya yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya, kali ini penelitian tersebut secara khusus mempergunakan teknik pencitraan otak untuk memeriksa aktifitas kerja daerah otak yang terkait dengan timbulnya rasa sakit tersebut.
Para ilmuwan tersebut menyatakan bahwa sampai saat itu baru sedikit sekali para peneliti yang melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui mekanisme proses otak hingga setiap bentuk harapan yang berebeda memiliki pengaruh yang berbeda juga pada effektifitas obat yang saat itu diberikan.
Kekuatan Dari Harapan
Didalam hal ini, para peneliti dari German dan Inggris dalam meneliti dampak dari bentuk harapan yaitu baik harapan ang sifatnya positip maupun yang negatip tersebut melalui cara men-scan aktifitas yang terjadi pada otak dari para relawan yang kondisi tubuhnya berada didalam keadaan ang sehat.
Cara yang mereka lakukan, adalah dengan memanfaatkan sumber panas dalam menimbulkan rasa sakit pada para relawan tersebut pada saat otak mereka di-scan dan diberi obat penghilang rasa sakit.
Para peneliti tersebut menuliskan bahwa harapan yang dimiliki ternyata dapat melipat gandakan efektifitas dari obat yang mereka berikan, sedangkan disisi lain kecemasan yang dimiliki nampak sekali justru menurunkan efektifitasnya.
Padahal, obat yang diberikan pada saat itu adalah Ultiva yang merupakan obat penghilang rasa sakit yang diberikan secara Intra Vena dan pada umumnya dipergunakan untuk menghilangkan rasa sakit selama menjalani oprasi.
Dengan hal yang seperti ini, menurut Irene Tracey dari Oxford University Center for Functional Magnetic Resonance Imaging of Thei Brain mengatakan bahwa setiap dokter sebaiknya tidak meremehkan dampak yang akan timbul jika pasien mereka tidak terpicu harapannya oleh cara mereka memperlakukan pasien-pasien tersebut..
Dua puluh dua relawan sehat telah mengambil bagian didalam studi ini. Mereka secara intravena diberi obat penghilang rasa sakit, kaki mereka dipasang alat pemanas dengan suhu 70 derajat untuk mengetahui respon rasa sakit masing-masing, dan dipantau dengan alat MRI.
Tanpa sepengetahuan para relawan, para peneliti tersebut pada saat itu telah memberikan obat penghilang rasa sakit tersebut sebelumnya, untuk mengetahui berapa jauh dampak yang akan ditimbulkannya jika mereka tidak mengetahuinya hingga timbul kecemasan pada diri mereka.
Hasilnya, relawan yang merasakan rasa sakit pada awalnya adalah 66 persen dari mereka, tetapi tidak lama kemudian turun menjadi 55 persennya.
Ketika selanjutnya para relawan tersebut diberi tahu bahwa obat penghilang rasa sakit saat itu tengah mulai diberikan (walau sebenarnya tidak karena sudah dari sebelumnya diberikan), peringkat para relawan yang masih merasakan rasa sakit turun drastis ke angka 39 % dari mereka.
Ketika pada langkah selanjutnya dimana para relawan tersebut dibuat agar berpikir bahwa pemberian obat penghilang rasa sakit tersebut telah dihentikan (padahal tidak) serta bahwa rasa nyeri pasti akan timbul, ternyata bahwa peringkat dari yang merasakan rasa nyeri pada saat itu kembali naik hingga 64 % dari mereka.
Disisi lain, hasil MRI menunjukkan bahwa otak telah merespon adanya rasa nyeri setara dengan harapan yang dimiliki para relawan tersebut.
Hingga menurut Tracey,dengan keadaan seperti ini setiap dokter harus mulai menyadari akan besarnya manfaat peran kekuatan harapan yang dimiliki oleh setiap pasien didalam setiap jenis perawatan yang akan dilakukan.
Dialihbahasa dan disarikan dari tulisan Bill Hendrick dalam WebMD Health News oleh WS Djaka Panungkas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar