Di Jepang, dampak kematian dari workaholism diistilahkan sebagai "karoshi" atau kematian akibat bekerja yang berlebihan serta telah menyebabkan terjadinya 1.000 kematian per-tahun pada mereka, dan hampir 5% dari kasus stroke serta kematian akibat mendapat serangan jantung yang terjadi dinegara tersebut telah menimpa para karyawan yang masih berada pada usia dibawah 60 tahun.
Di negeri Belanda, hal tersebut telah menghasilkan suatu keadaan yang diistilahkan mereka sebagai "leisure illness" (penyakit saat liburan) yang dalam penelitian mereka ternyata telah menimpa 3% penduduknya, yang menyebabkan mereka sakit secara fisik diakhir pekan atau pada saat liburan yaitu disaat mereka mencoba untuk berhenti bekerja dan ingin bersantai.
Sedangkan di Amerika Serikat, gila kerja telah diistilahkan sebagai "kecanduan terhormat" yang telah menyebabkan bahaya yang sama dengan yang menimpa mereka yang berada dinegara lain hingga menimpa jutaan penduduk Amerika Serikat baik yang memiliki pekerjaan tetap maupun yang tidak.
Menurut Bryan Robinson, PhD, , gila kerja adalah suatu jenis kecanduan, yang merupakan salah satu gangguan obsesif-kompulsif, hingga sama sekali berbeda dengan bekerja keras atau bekerja didalam waktu yang lama,"
Perbedaan Antara Kerja Keras dan Workaholism
Pekerja keras menjadikan kita mampu mendarat di bulan, menemukan vaksinasi serta terbentuknya suatu negara dan pekerja keras umumnya memiliki keseimbangan hidup hingga pada saat duduk didepan meja masih memikirkan kapan saatnya untuk dapat bersantai.
Tetapi seorang workaholic berbeda, karena walau sedang bersantai bersama keluarganya sekalipun, yang ada didalam pikirannya tetap pekerjaannya.
Obsesi mereka dengan pekerjaan adalah bahwa semua pekerjaan harus dapat ditangani. Akibatnya, para pecandu kerja tersebut menjadi kurang bisa menjaga hubungan baik dengan pihak lain dan kurang mempedulikan kesehatan.
Menurut Tuck T. Saul, PhD, seorang psikoterapis dari Columbus, Ohio, "Mereka cenderung mengabaikan kesehatan hanya untuk dapat mencapai hasil-hasil mengagumkan serta juga cenderung mengabaikan teman-teman bahkan keluarga mereka sendiri. Selain itu, memiliki kecenderungan untuk menghindari berlibur, bahkan jika pergi berliburpun pikiran mereka tidak berada sepenuhnya disana karena masih terus memikirkan pekerjaan mereka”.
Seperti halnya dengan jenis-jenis aholism yang lain, mereka tidak menyadari dampak buruk yang akan ditimbulkan oleh keadaan gila kerjanya tersebut, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi pihak yang lain. Dan mereka hanya akan menyadarinya jika malapetaka telah menimpa diri mereka seperti hancurnya kesehatan fisik mereka atau rusaknya kehidupan keluarga mereka.
Sehingga konseling merupakan sesuatu yang dianjurkan bagi para workaholic
Bekerja keras adalah baik, tetapi kita harus mampu menghentikannya jika saatnya tiba serta beralih memperhatikan bagian lain dari kehidupan sepert halnya dengan teman, keluarga, hobi, dan hiburan
Dialihbahasa dan disarikan dari tulisan Sid Kirchheimer dari WebMD Feature yang dikaji ulang oleh Louise Chang, MD yang bersumber dari : Nishiyama, K. International Journal for Health Services, Feb. 4, 1997. Vingerhoets, A. Psychotherapy and Psychosomatics, November-December 2002; vol 71: pp 311-317. Bryan Robinson, PhD, psychotherapist, Asheville, N.C.; professor emeritus, University of North Carolina, Charlotte; author, Chained to the Desk. Tuck T. Saul, PhD, psychotherapist, Columbus, Ohio. "Cheri", recovering workaholic, Menlo Park, Calif. Diane Fassel, PhD, president, Newmeasures, Inc., Boulder, Colo.; author, Working Ourselves to Death
Tidak ada komentar:
Posting Komentar